Senin, 18 Mei 2009

HADITS DALAM PANDANGAN ORIENTALIS


HADITS DALAM PANDANGAN ORIENTALIS
Dasep Hanan Mubarok*
_______________________________________
Abstract
Hadith in Islamic teachings has very strategic position. This is because hadith becomes the second resource after Qur’an in the Islamic laws system. Because of its strategic position, hadith is continuously studied and told and also criticized by ‘Ulama, therefore there is a study of hadith critics called “naqd al-hadith” in the term of hadith science. Factually, hadith critics had done since Shahabat like Abu Bakr, ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib and some others which was believed as the beginning of “‘ilm naqd al-hadith” (science of hadith critics). Actually, hadith critics had not been done by ‘Ulama only but also by Orientalists like Goldziher, Joseph Schact, Alferd Guilame and many others. Of course, the Orientalists critics to hadith are very different with ‘Ulama critics, for example Goldziher critics that doubt authenticity of hadith as Mohammad sayings. While Sshact said “we shall not meet any legal tradition of the Prophet which can be considered authentic”. The causes why Orientalist have very deeply attention to hadits critics are: firstly, by exploring hadith they can kill Islam easily; secondly, they want hard to descredit Islam; thirdly, there were some contradictions in materials of hadith; and fourthly, they want to have their own methodology in their exploration to hadith. It appears that Orientalists thought had not influenced the same Orientalists only but also the Moslem intellectuals like Ahmad Amin – Moslem thinker from Egypt – whom was mostly influenced by Goldziher theories in doing hadith critics as shown in his work “Fajr al-Islam”. Likewise Abu Rayyah, the Egypt thinker – was more extreme than Ahmad Amin in criticizing the hadith experts (‘ulama al-hadith) as appeared in his work “Adhwa ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah”. He was also influenced by Goldziher thought. We, as the Islam followers of course, should be elegant to face the case, but must not be indifferently.
Key words: Islamic teachings, strategic position, Islamic law system, hadith critics, Orientalist, hadith experts, thought.


A. Pendahuluan
Kedudukan hadits dalam ajaran Islam menempati posisi yang sangat strategis. Hal itu terjadi karena Hadits menjadi sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Baik al-Qur’an maupun hadits merupakan wahyu, hanya saja yang pertama wahyu mathluw sedang yang kedua wahy ghair mathluw. Posisi hadits seperti ini tidak hanya dijelaskan oleh Nabi saw. bahkan juga oleh Allah swt. Hal itu dapat dilihat dalam Qs. al-Fat-h(48): 10, al-Maidaú (5): 92, al-Nisâ (4): 65 dan lain-lain.
Oleh karena posisinya yang strategis itu, maka hadits terus menerus dikaji dan diriwayatkan. Termasuk dalam kajian hadits itu adalah naqd al-hadits (kritik hadits). Kritik hadits itu sendiri telah dilakukan oleh para sahabat. Kasus Umar yang mengecek kebenaran sebuah riwayat yang menerangkan bahwa nabi telah menceraikan isteri-isterinya, juga pengecekan yang dilakukan sahabat-sahabat lain semacam Abu Bakar al-Shiddiq, Ali ibn Abi Thalib dan lain-lain diyakini sebagai cikal bakal ‘ilmu Naqd al-Hadiå (ilmu kritik hadits). Baik kritik matan maupun sanad.
Kajian hadits ternyata tidak hanya milik kaum muslimin, tetapi para orientalis pun tak ketinggalan melakukan kajian tersebut. Tersebutlah nama-nama semacam Ignaz Goldziher, Joseph Schact, Alferd Guilame dan lain-lain. Berbeda dengan kritik yang dilakukan kaum muslimin salaf, kritik yang mereka lakukan sungguh mencengangkan. Goldziher, misalnya meragukan otentisitas hadits, sedangkan Schact berpendapat lebih jauh dengan mengatakan: We shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be considered authentic.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis mencoba menelusuri pemikiran para orientalis tersebut. Bangunan tulisan ini dimulai dengan melihat batasan orientalisme, pemikiran mereka dalam kajian hadits yang disertai komentar dan bantahan muhadditsin kontemporer, dan pengaruh pemikiran mereka dalam kajian-kajian hadits sepeninggalnya.
B. Orientalisme
Orientalisme berasal dari kata orient dan isme. Kata orient (Latin: orin) berarti terbit, dalam Bahasa Inggris kata ini diartikan direction of rising sun (arah terbitnya matahari). Jika dilihat secara geografis, maka kata ini mengarah pada negeri-negeri belahan timur, sebagai arah terbitnya matahari. Negeri-negeri itu terentang dari kawasan timur dekat, yang meliputi Turki dan sekitarnya hingga timur jauh yang meliputi Jepang, Korea dan Indonesia, dan dari selatan hingga republic-republik muslim bekas Uni Soviet serta kawasan Timur Tengah hingga Afrika Utara. Lawan dari kata orient adalah oksident yang berarti arah terbenamnya matahari yang meliputi bumi-bumi belahan barat. Sedangkan kata isme berasal dari Bahasa Belanda (Latin: isma, Inggris: ism) yang berarti a doctrin theory or system (pendirian, keyakinan dan system). Oleh karena itu secara etimologis orientalisame dapat diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia timur.
Edward Said memberikan tiga pengertian dasar orientalisme. Pertama, orientalisme yang diartikan sebagai sebuah cara kedatangan yang berhubungan dengan Bangsa Timur. Kedua, sebuah gaya pemikiran yang berdasarkan ontologi dan epistemologi antara Timur dan Barat pada umumnya. Ketiga, sebuah gaya Barat yang mendominasi dan menguasai kembali dunia Timur.
Namun demikian, karena yang menjadi ancaman terhadap Barat adalah Islam, maka pengertian orient dalam konteks orientalisme dunia Timur Islam termasuk Andalusia, Sisilia, dan wilayah Balkan, yang secara geografis tidaklah termasuk wilayah Timur. Dengan demikian orientalisme yang dimaksud adalah kajian akademis yang dilakukan ilmuwan Barat mengenai Islam dan kaum Muslimin dari seluruh aspeknya, dengan tujuan untuk membentuk opini umum dalam hal tertentu, sebagai siasat menguasai dunia Timur Islam yang mencerminkan pertentangan latar belakang ideology, histories dan kultur antara Barat dan Timur. Itulah sebabnya Musthafa Mafaur menyebutkan karakteristik orientalisme antara lain:
a. Mentalisme orientalis merupakan suatu kajian yang memiliki satu keterkaitan kuat dengan penjajahan Barat di Dunia Timur, karena fenomena orientalisme mempunyai hubungan organis dengan fenomena imperialisme sehingg antara keduanya tidak dapat dipisahkan.
b. Orientalisme merupakan kajian yang memiliki keterkaitan kuta dengan misionarisme, dalam hal ini misalnya orientalis Samuel Zwemmer, Mc Donald, dan Alfred Guilame.
c. Orientalisme adalah kajian yang disebabkan adanya keterkaitan kepentingan secara organis dengan imperialisme dan misionarisme, oleh karena itu kemungkinan untuk memiliki komitmen ilmiah khusunya pada kajian-kajian Islam kecil sekali.
d. Orientalisme adalah kajian yang memberi andil secara efektif bagi pengambilan kebijakan Barat terhadap negeri-negeri Muslim. Untuk contoh ini dapat disebutkan Prof. Snouck Hougranje yang pernah menjadi penasehat utama Kolonial Belanda.
Pada mulanya kajian orientalisme sangat luas mencakup pelbagai bidang ilmu pengetahuan dari Timur, namun setelah menyadari bahwa kekuatan Islam lah yang berbahaya, dengan dua sumber utamanya, maka orientalis pun memberikan perhatiannya terhadap al-Hadîå di samping al-Qur’ân. Adapun sebab-sebab yang mendorong perhatian tersebut adalah:
a. Melalui penyelidikan hadits, para orientalis dengan mudah dapat membunuh Islam.
b. Adanya keinginan yang kuat dari para orientalis untuk mendiskreditkan Islam.
c. Terdapatnya banyak kontradiksi dalam materi korpus hadits.
d. Kontradiksi dalam korpus tadi memerlukan sebuah metode, kebutuhan metode tersebut merangsang para orientalis untuk memperkenalkan metode penyelidikan mereka.


C. Hadits Dalam Pandangan Orientalis
Menurut dugaan Azami bahwa orientalis pertama yang melakukan kajian terhadap hadits adalah Ignaz Goldziher lewat bukunya Muhammadenische Studien (1890 M.). upaya itu kemudian diikuti oleh Joseph Schact, seorang professor muda yang pakar dalam bidang hukum Islam. Di antara karyanya yang berkaitan dengan hadits dan sekaligus melambungkan namanya adalah The Origin of Muhammadan Jurisprudence (1950 M.) dan an Introduction to Islamic Law (1960 M.). Adapun para orientalis sesudahnya tidaklah menrbitkan kajian hadits, kecuali beberapa makalah yang isinya jauh dari penelitian hadits. Meski A. Guillaume menulis buku The Tradition of Islam, namun kajiannya tidaklah menyuguhkan hal baru kecuali bersandar pada penelitian Goldziher di atas, oleh karena itu ia tidak ilmiah.
Itulah sebabnya makalah ini hanya akan membidik dua tokoh itu saja, yakni Ignaz Goldziher dan Joseph Schact yang menurut Yaqub, masing-masing karyanya telah menjadi “kitab Suci” pertama dan “kitab Suci” kedua dalam literatur kajian hadits di Barat.
1. Goldziher dan Metode Kritik Hadits
Ignaz Goldziher adalah seorang orientalis berkebangsaan Hungaria. Ia dilahirkan dari keluarga Yahudi pada tahun 1850 M. Goldziher belajar di Budapest, Berlin dan Liepzig. Pada tahun 1873 ia pergi ke Syiria, mempelajari ilmu-ilmu keislaman di bawah asuhan Syekh Tahir Al- Jazairi, kemudian pindah ke Palestina lalu ke Mesir dan belajar dari ulama-ulama Al-Azhar. Sepulangnya dari Al-Azhar ia diangkat menjadi guru besar di Budapest. Ia meninggal pada tahun 1921 M.
Goldziher banyak menulis mengenai keislaman yang dipublikasikan dalam Bahasa Jerman, Inggris dan Perancis. Salah satu karyanya adalah Muhammedanische Studien (Studi Islam) sebuah karya yang menjadi rujukan utama kajian hadits di Eropa. Dalam bukunya tersebut ia antara lain berkesimpulan bahwa yang disebut hadits itu diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi saw.
Goldziher mengakui bahwa kritik hadits sebenarnya telah dilakukan sejak dahulu, namun menurutnya kritik-kritik tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, hal itu karena metode yang digunkannya lemah. Para ulama terdahulu, menurut Goldziher lebih banyak menggunakan kritik sanad dan kurang menggunakan kritik matan. Oleh karena itu ia menawarkan suatu metode baru yaitu kritik matan saja.
Sebenarnya para ulama telah melakukan kritik matan tersebut, namun yang dimaksud Goldziher adalah kritik matan yang mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dan sebagainya.
Salah satu kritiknya antara lain ia alamatkan kepada Bukhari. Menurutnya pemilik kitab shahih ini hanya melakukan kritik sanad dan mengabaikan kritik matan. Akibatnya setelah dilakukan penelitian oleh Goldziher, salah satu hadits yang ada dalam sahihnya itu ternyata palsu.
Hadits yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Zuhri yang berbunyi:


“Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga mesjid, Masjid al-Haram, Masjid Nabawi dan Mesjid al-Aqsa”.
Menurut Goldziher hadits ini merupakan pesanan Abdul Malik bin Marwan, seorang khalifah dari Dinasti Umayah di Damaskus yang merasa khawatir apabila Abdullah ibn Zubair, yang memproklamirkan sebagai seorang khalifah di Makkah, mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam yang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al-Quds yang pada saat itu berada pada wilayah Syam. Untuk itulah ia memerintahkan al-Zuhri untuk membuat hadits sebagaimana di atas. Kesimpulannya, menurut Goldziher, hadits itu adalah bikinan ulama (al-Zuhri) meski ia ada dalam Kitab Sahih Bukahri.
Pendapat bahwa al-Zuhri ini pemalsu hadits antara lain diperkuat pula kata-kata al-Zuhri sendiri. Menurut Goldziher, al-Zuhri mengatakan:
“Inni haulai al-umara akrahuna ‘ala kitabah ahadits (dengan tanpa “al” ma’rifah)”.
Kata-kata ini menurut Goldziher mengindikasikan bahwa al-Zuhri dipaksa untuk menuliskan hadits yang belum pernah ada pada saat itu. Demikianlah di antara tuduhan Goldziher mengenai hadits. Menurut Yaqub , dengan pendapatnya itu tidak terlalu sulit untuk diidentifikasi bahwa Goldziher bertujuan untuk meruntuhkan kepercayaan umat Islam terhadap Imam Bukhari yang kredibilitasnya telah diakui kaum Muslimin, sehingga pada akhirnya semua kitab hadits dalam sahihnya tidak dipakai lagi oleh kaum muslimin. Kemudian setelah Bukhari, maka imam-imam Hadits pun akan ia bantai satu persatu, sehingga hilanglah hadits dari peredaran dan hilang pula salah satu pilar agama Islam.
Pendapat Goldziher ini mendapat bantahan dari para ulama ahli hadits. Azmi misalnya mengatakan bahwa Goldziher mendasarkan teorinya pada fakta sejarah yang salah (diselewengkan). Menurutnya, al-Zuhri tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan sebelum tahun 81 H. sedang Abdul Malik berfikir untuk membangun Qubbah Sakhra -yang konon akan dijadikan pengganti Ka’bah itu- pada tahun 68 H. lagi pula kalau diandaikan pada tahun 68 tersebut al-Zuhri bertemu dengan Abdul Malik, maka usianya tak lebih dari 10 sampai 18 tahun, sebab menurut sejarawan al-Zuhri lahir sekitar tahun 50 s.d. 58 H. karenanya sangat tidak logis, anak seusia itu sudah demikian popular di luar daerahnya untuk diminta “membuat” hadits. Inilah ketakrasionalan teori Goldziher. Argumen ini pun tertolak sebab pada waktu itu di Syam masih banyak generasi sahabat dan tabi’in, dan mereka tak mungkin berdiam diri.
Mengenai perkataan al-Zuhri bahwa beliau disuruh menuliskan hadits, menurut Azmi, Goldziher mengutipnya salah, sebab ia meninggalkan “al” dalam kata “ahadits”. Padahal jika kutipan sesuai teks aslinya, seperti dalam riwayat Ibn Sa’ad dan Ibn ‘Asakir maka ia akan berbunyi: inna haulai al-umara akrahuna ‘ala kitabah al-ahadits (dengan “al” ma’rifah)”. Jjika demikian maka kesannya bukan dipaksa untuk menuliskan hadits yang belum pernah ada pada saat itu, melainkan hadits itu telah ada hanya saja belum terhimpun. Demikianlah Goldziher telah memalsukan atau sekurang-kurangnya keliru dalam mengutip sumber rujukan.


2. Joseph Schact dan Teori “Projecting Back”
Selain Goldziher, sesudahnya muncul orientalis baru yakni Joseph Schact. Ia dilahirkan di Silisie Jerman pada tanggal 15 Maret 1902. Schact belajar filologi klasik, teologi, dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipizig. Pada tahun 1923, ketika usianya baru mencapai 21 tahun, ia meraih gelar doktornya dari Universitas Berslauw.
Pada tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Fribourg, dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagai guru besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke universitas Kingsbourg, dan dua tahun berikutnya ia mengajar tata bahasa Arab dan Bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (kini universitas Kairo) Mesir. Ia tinggal di sana sebagai Guru Besar sampai tahun 1939.
Ketika perang dunia II meletus, Schact meninggalkan Kairo menuju Inggris dan bekerja di Radio BBC London. Meski perang telah usai ia tidak pulang ke Jerman, melainkan tetap tinggal dan menikah dengan wanita Inggris. Pada tahun 1947 ia menjadi warga Negara Inggris. Ia kuliah di Oxford, dan mendapat magister (1984) dan Doktor (1952) di universitas tersebut.
Pada tahun 1954 ia hijrah ke Leiden dan menjadi Guru Besar di sana, kemudian pada tahun 1959 ia hijrah lagi ke Universitas Columbia New York dan menjadi Guru Besar di sana hingga meninggal dunia pada tahun 1969.
Schact adalah pakar hukum Islam, namun karyanya tidak terbatas pada disiplin tersebut melainkan tersebar dalam pelbagai disiplin ilmu, seperti ilmu kalam, sains, filsafat dan lain-lain. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah The Origin of Muhammadan Jurisprudence (1950), dan An Introduction to Islamic Law (1960).
Di antara obyek penelitiannya adalah kitab al-Muwaththa karya Imam Malik, kitab al-Umm karya al-Syafi’i , al-Muwaththa karya Muhammad al-Syaibani, dan lain-lain. Schact menyatakan bahwa pada masa al-Sya’bi (w. 110 H.) hukum Islam belum eksis. Dengan demikian bila ditemukan hadits-hadits berkaitan dengan hukum Islam, maka hadits-hadits itu adalah buatan orang-orang sesudah al-Sya’bi. Menurut Schact hukum Islam baru dikenal semenjak pengangkatan para qadhi, sedang pengangkatan ini baru terjadi pada masa Bani Umayah.
Dalam memberikan keputusan-keputusannya, para qadhi itu -menurut Schact- memerlukan legitimasi orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Oleh karena itu para qadi tadi menisbahkan keputusan-keputusannya pada tokoh sebelumnya, seperti halnya orang Irak menisbahkan kepada al-Nakha’i. Mereka tidak hanya menisbahkan kepada orang-orang terdahulu yang jaraknya relatif masih dekat, melainkan menisbahkan juga pada mereka yang lebih dahulu lagi, sehingga pada tahapan akhir pendapat-pendapat tadi dinisbahkan kepada Nabi saw. Menurut Schact inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadits, yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada tokoh di belakang. Itulah sebabnya teori Schact dinamakan. “Projecting Back”.
Schact selanjutnya berpendapat bahwa dengan munculnya aliran-aliran fiqh ini klasik ini maka melahirkan konsekuensi munculnya ahli hadits. Menurutnya ahli hadits ini pun telah memalsu hadits guna mengalahkan aturan-aturan yang dibuat oleh kelompok ahli fqh.
Dengan teorinya itu, maka Joseph Schact berkesimpulan: We shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be considered authentic.
Pemikiran Schact ini pun mendapat bantahan dari Azami. Untuk meruntuhkan teori Schact tersebut Azami mengadakan penelitian tentang hadits-hadits nabawi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah Suhail bin Abu Shalih (w. 138 H.). ayah Suhail (Abu Shalih) adalah murid Abu Hurairah sahabat Nabi saw. Dengan demikian sanadnya adalah Nabi – Abu Hurairah – Abu Shalih – Suhail.
Melalui penelitiannya Azami menemukan bahwa dalam thabaqah al-tsalitsah (jenjang ketiga) jumlah rawinya berkisar antara 20 sampai 30 orang, dengan domisili yang terpencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sedang redaksi hadits yang mereka riwayatkan itu sama. Menurut Azami adalah mustahil jika mereka pernah berkumpul untuk membuat hadits palsu dengan redaksi sama.
Teori Schact ini pun dapat dibantah dengan alasan bahwa fiqh atau hukum Islam sudah dikenal semenjak Nabi saw. Sebab fiqh adalah ijtihad, dan pada masa sahabat bahkan masa Nabi ijtihad itu sudah ada. Jadi tidak benar bahwa hokum Islam baru muncul pada masa Bani Umayah ketika para qadhi diangkat. Dengan demikian tuduhan Schact tidaklah benar.
D. Pengaruh Faham Orientalis
Sebagaimana disebutkan di muka bahwa karya kedua tokoh orientalis di atas telah menjadi “kitab suci” dalam literature hadits di Eropa, oleh karena itu tak mengherankan kalau kedua karya ini sangat berpengaruh terhadap para pengkaji sepeninggalnya. Azmi, seperti telah dikutip di depan, bahkan berpendapat bahwa pasca Goldziher dan Schact tidak ada karya ilmiah berkenaan dengan kajian hadits.
The Tradition of Islam karya A. Guillaume, masih menurut Azmi, dikatakan tidaklah menyuguhkan hal baru selain menyandarkannya pada karya Goldziher itu. Demikian pula pengaruh Schact itu luar biasa hebatnya, konon Prof. Anderson, seorang orientalis lulusan Cambridge University, tidak mau menjadi promoter Ahmad Amin –seorang lulusan fakultas Ushuludian Universitas Kairo- hanya karena tema penelitian yang diajukannya mengkritik Schact. Bahkan Anderson menganjurkan untuk menyesuaikannya dengan pikiran Schact.
Namun pengaruh itu ternyata tidak terbatas pada orientalis semata, terhadap para pemikir Muslim pun kedua karya tadi ikut berpengaruh, sebut saja misalnya Ahmad Amin. Seorang pemikir Muslim Mesir kenamaan ini banyak terkecoh oleh teori-teori Goldziher dalam melakukan kritik hadits, hal ini seperti terlihat dalam karyanya Fajr al-Islam. Demikian juga Muhammad Abu Rayyah, yang juga pemikir dari Mesir. Bahkan dalam karyanya Adhwa ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah ia lebih sadis dalam membantai ahli-ahli hadits dibanding Ahmad Amin. Juga tak kalah menariknya adalah ulama kontemporer Muhammad al-Ghazali yang melakukan kritik hadits dengan prinsip-prinsip yang dipakai Goldziher, baik dalam karyanya al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl Fiqh wa Ahl Hadits, maupun dalam diskusi-diskusinya di Kairo.
Untuk menanggapi pemikiran mereka, antara lain ditulislah kitab al-Sunnaú wa makanatuòa fi Tasyri’ al-Islam (1949) oleh al-Syiba’i, kemudian Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami dalam bukunya Dirasat fi al-Hadiå al-Nabawi wa Tarió wa Tadwiniòi. kitab Muhammad al-Ghazali antara lain dibantah oleh Syaikh Salman al-Audah dalam Hadi’ ma’a Muhammad al-Ghazali, Dr. Syaikh Rabi bin Hadi al-Madkhali dalam Kasyf Mauqif al-Ghazali min al-Sunnaú wa ahliha wa Naqd Ba’dh ara’ihi dan Syeikh Shalih al-Syeikh dalam kitabnya al-Mi’yar li ‘Ilmi al-Gazali fi Kitabiòi al-Sunnaú al-Nabawiyaú.
E. Penutup
Demikianlah pemikiran dua tokoh orientalis terhadap kajian hadits. Goldziher meragukan otentisitas hadits sedang Schact memandang bahwa tidak ada satupun hadits –khususnya dalam hokum Islam- yang bisa dipandang autentik.
Kedua orientalis ini telah meninggalkan pengaruh yang begitu kuat, tidak hanya terhadap para orientalis berikutnya, tetapi juga terhadap para pemikir muslim., meski menurut al-Syiba’i pengaruh mereka lambat laun menurun, sebab di antara para orientalis itu ada yang diam-diam merevisi pandangannya dengan menerbitkan risalah yang menyanggah pandangan Goldziher tersebut.
Orientalisme karena pelbagai karakteristiknya sebagaimana yang dikatakan Mafaur - memang harus diwaspadai. Hal itu bukan berarti pemikiran mereka diabaikan sama sekali, melainkan ia semestinya dibaca dan dianalisa dengan kritis. Adalah keliru mengabaikan pemikiran mereka sama sekali, sebagaimana juga salah jika diikuti secara membabi buta.***

1 komentar:

Dasep Hanan Mubarok mengatakan...

Thanks ya dah bantu tugas kuliah ku.. Obin