Rabu, 20 Mei 2009

METODE TAFSIR MAUDLU’Î


METODE TAFSIR MAUDLU’Î
Dasep Hanan Mubarok*
_______________________________________
Abstract

Al-Qur'an is God sentences which of linguistic with man language because the allotment is truly as huda li al-nas. There are immeasurable of method interpretation of al-Qur'an; tahliliy method (analysed), ijmaliy method, muqaran method and maudlu'iy method. This last method now grow for replying problem of peoples. This method is using interpretation of al-Qur'an by the way of mustering all sentences al-Qur'an conversing the one themes or problem (maudlu'), even if the sentence differ in way, place, and time of lowering of and also there are at different letter. Mufassir try to answer one problems by mustering and explain sentences al-Qur'an from various the letters which assumed still one themes with the problems. With this method we do not necessarily open all interpretations books sheets for finding answer of definited problem, because already in separated themes. In our language, this interpretation method often called as tematic interpretation method. Maudlu'iy methode have two form, that is by explaining main theme from smalls themes which discussed one certain letters, and mustering all sentence al-Qur'an related to same theme.

Keyword : al-Qur’an, mufassir, maudlu’iy method.


I. PENDAHULUAN
Al-Qur’ân merupakan kalam Allah yang dibahasakan dengan bahasa manusia karena peruntukannya memang sebagai huda li al-nas. Dengan bahasa manusia inipun masih banyak orang yang tidak mengerti apa maksud al-Qur’ân ketika bertutur dengan ayat-ayatnya. Pada saat awal al-Qur’ân diturunkan, Rasul berperan sebagai mubayyin (pemberi penjelasan)tentang wahyu yang diterimanya. Rasul banyak menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat yang tidak dipahami oleh para sahabat, khususnya menyangkut ayat-ayat yang mempunyai arti yang samar. Tugas sebagai mubayyin ini diemban Rasul sampai beliau wafat.
Sepeninggal Rasul, para sahabat yang mempunyai kapasitas keilmuan yang mumpuni juga meneruskan tugas sebagai penjelas ayat-ayat Qur’an ini. Para sahabat banyak melakukan ijtihad tentang masalah-masalah yang dihadapi umat Islam saat itu. Mereka yang dikenal akrab dengan persoalan tafsir ini adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ud.[1] Meskipun generasi kedua ini melakukan ijtihad dalam memahami al-Qur’ân, tetapi mereka tetap menggunakan hadis nabi dan al-Qur’ân itu sendiri sebagai alat untuk menafsirkan kalam Allah.
Metode tafsir yang digunakan pada generasi sahabat juga tetap digunakan pada generasi setelahnya, yaitu generasi tabi’in. Tafsir pada periode awal ini dinamai tafsir bi al-ma’tsur. Tafsir bi al-ma’sur ini dianggap sebagai tafsir yang paling tinggi tingkatannya. Periode Nabi, sahabat dan tabi’in adalah periode pertama dalam perkembangan tafsir yang berakhir pada sekitar tahun 150 H. Baru pada periode kedua, setelah zaman tabi’in, tafsir bi al-ra’yi yang menggunakan ijtihad para ulama mulai berkembang mengingat banyaknya persoalan-persoalan yang muncul yang belum ada sebelumnya.
Pada perkembangannya corak dan metode tafsir juga menjadi beragam. Corak sastra, filsafat dan teologi, fiqih, tasawuf, dan juga corak sastra budaya kemasyarakatan yang dipelopori oleh Muhammad Abduh.[2] Metode penafsiran juga berkembang. Dari metode tahlilî (analisis) yang menjelaskan kandungan ayat dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat sebagaimana yang ada dalam mushaf al-Qur’ân, sampai pada metode ijmalî, muqaran dan maudlu’i (tafsir tematik).[3] Metode yang terakhir inilah yang sekarang berkembang untuk menjawab persoalan-persoalan umat. Para ulama tafsir mencoba menjawab satu persoalan dengan menghimpun dan menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ân dari berbagai surat yang ada yang dianggap masih satu tema dengan persoalan tersebut. Dengan metode ini kita tidak perlu membuka semua lembar kitab tafsir untuk menemukan jawaban persoalan-persoalan tertentu karena sudah dipilah-pilah dalam tema-tema yang terpisah.
Tulisan ini akan sedikit mengupas apa dan bagaimana sebenarnya tafsir mauæu’î itu mulai dari pengertian, sejarah perkembangan, bentuk metode maudlu’î, cara kerja, serta perbedaannya dengan metode yang lain.


II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Maudlu’î
Kataموضوعي adalah kata bentukan dari kata dasarوضع yang mempunyai beberapa arti; meletakkan, merendahkan, menjatuhkan, menyusun/mengarang dan lain-lain. Kata موضوع sendiri adalah bentuk isim maf’ul dari وضع yang berarti “masalah atau pokok pembicaraan”.[4] Dari arti bahasa ini sudah bisa dipahami bahwa tafsir mauæu’î adalah metode penafsiran al-Qur’ân dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur’ân yang berbicara tentang satu tema atau masalah (maudlu’) sekalipun ayat itu berbeda cara, tempat, dan waktu turunnya serta terdapat pada surat yang berbeda.[5] Dalam bahasa kita, metode tafsir ini sering disebut dengan metode tafsir tematik.

B. Sejarah Perkembangan Tafsir Maudlu’î
Al-Farmawi mengatakan bahwa metode tafsir Maudlu’î ini sudah ada sejak zaman Rasul dalam bentuknya yang sangat sederhana. Menurutnya, Rasul sendiri sudah memulai untuk menafsirkan ayat al-Qur’ân dengan ayat lain yang menurut Rasul kedua ayat tersebut masih mempunyai keterkaitan tema. Rasul pernah menafsirkan kata ظلم dalam surat al-An’am ayat 82: الذين امنوا ولم يلبسوائيمانهم بظلم ditafsirkan dengan ayatان الشرك لظلم عظيم dalam surat Luqman ayat 12. Dengan penafsiran semacam ini, Rasul telah memberi pelajaran kepada para Sahabatnya bahwa ayat-ayat al-Qur’ân mempunyai keterkaitan satu sama lain yang bisa dikelompokkan dalam tema-tema tertentu. Al-Farmawiy juga mengatakan bahwa semua penafsiran al-Qur’ân dengan al-Qur’ân, disamping sebagai al-Tafsir bi al-Ma’tsur, adalah sebagai tafsir maudlu’î. Penafsiran al-Qur’ân dengan al-Qur’ân ini merupakan cikal bakal tumbuhnya metode maudlu’î.[6]
Ada sebuah pertanyaan tentang mengapa para mufasir tidak menggunakan metode tematik yang sudah dicontohkan Rasul? Bahkan kebanyakan para penafsir lebih menggunakan metode tahlilî yang mengikuti runtutan ayat demi ayat dari awal sampai akhir dari pada hanya mengambil tema-tema tertentu. Al-Farmawiy mengemukakan dua alasan mengapa tafsir tematik tidak muncul pada masa klasik.
Pertama, metode tematik ini pada mulanya merupakan kajian atas motif perseorangan untuk mengkaji salah satu tema yang ada dalam al-Qur’ân. Kajian ini kemudian diikuti oleh orang lain dan menjadi trend. Prinsip spesialisasi semacam ini saat itu belum menjadi tujuan kajian, maka para mufasir tidak memakai metode ini.
Kedua, para mufasir saat itu belum merasa perlu untuk melakukan kajian tematik. Alasannya, karena mereka adalah penghafal al-Qur’ân dan menguasai ilmu keislaman yang mendalam dan meliputi segala aspek. Mereka juga mempunyai kompetensi untuk menghubungkan maksud suatu ayat yang berkaitan dengan topik tertentu dengan keilmuan yang dimilikinya.[7] Dua alasan inilah yang membuat metode tafsir tematik belum dikenal pada masa klasik.
Al-Syathibi (w. 1388 M) dianggap sebagai tokoh yang pertama kali melontarkan ide maudlu’î ini dengan pernyataanya bahwa walaupun dalam satu surat al-Qur’ân sering membicarakan banyak masalah tetapi masalah-masalah tersebut bisa dikorelasikan satu dengan yang lain. Maka, untuk memahaminya harus dengan memperhatikan semua ayat yang ada pada surat tersebut. Demikianlah al-Syathibi mengemukakan gagasan barunya. Tokoh modern yang dianggap sebagai pelopor yang melahirkan tafsir maudlu’î adalah Muhammad Abduh dengan tafsir Al-Manar. Walaupun secara umum masih bercorak tahlilî tetapi dianggap mempunyai kecenderungan yang sangat kuat untuk memperhatikan tema-tema tertentu dalam pembahasannya.[8] Akan tetapi, tafsir maudlu’î ini baru benar-benar muncul berawal pada tahun 1960.
Sejak masa kodifikasi tafsir, yang dimulai oleh al-Farra’(w. 207 H), sampai tahun 1960, kitab-kitab tafsir yang ada masih dikategorikan sebagai tafsir tahlilî karena dalam karya-karya tersebut para mufasir masih menafsirkan al-Qur’ân secara berurutan dari satu ayat ke ayat berikutnya sesuai dengan urutan di dalam mushaf. Kemunculan kitab tafsir mauæu’î ditandai dengan kitab " تفسير القراءن الكريم" karya Syaikh al-Azhar, Mahmud Syaltut pada bulan Januari 1960. Di dalam kitab ini tidak lagi dijumpai penafsiran ayat demi ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian tertentu dalam satu surat dan kemudian merangkainya dengan tema sentral dalam surat tersebut. Tetapi karya ini juga masih punya kelemahan. Mahmud Syaltut belum menjelaskan secara menyeluruh pandangan al-Qur’ân tentang satu tema secara utuh. Dalam kitabnya, satu tema dapat ditemukan dalam berbagai surat. Seperti kita ketahui bahwa satu masalah tidak hanya ada dalam satu surat saja, tetapi akan kita jumpai dalam beberapa surat berbeda.
Setelah Syaltut, pada akhir tahun 60-an muncul ulama al-Azhar lainnya; Ahmad Sayyid al-Kumiy, yang melanjutkan kerja Syaltut. Al-Kumiy mulai menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu dan menafsirkannya secara utuh dan menyeluruh.[9]

C. Bentuk Tafsir Maudlu’î
Di atas sudah dijelaskan mengenai lahirnya metode maudlu’î sejak zaman Nabi, sebagai cikal bakalnya, sampai pada masa Mahmud Syaltut dan al-Kumiy. Dari dua karya tafsir maudlu’î awal yang ada, metode ini dapat dibagi menjadi dua bentuk.
Pertama, mufasir membahas satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksud surat baik yang umum dan yang khusus, dan menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang terkandung di dalamnya sehingga satu surat tersebut nampak membicarakan satu masalah yang utuh. Cara inilah yang digunakan Mahmud Syaltut dalam Tafsir al-Qur’ân al-Karimnya.
Kedua, menghimpun seluruh ayat al-Qur’ân yang membicarakan satu tema yang sama dan kemudian diberikan penafsiran atas kumpulan surat tersebut.[10] Cara kedua inilah yang banyak dikenal orang sebagai metode tafsir maudlu’î. Metode ini yang sekarang banyak digunakan para mufasir untuk menafsirkan al-Qur’ân secara tematik berkaitan dengan tema-tema sosial, politik, ekonomi dan lainnya. Pada awalnya metode ini digunakan untuk kepentingan penelitian dan kemudian berkembang menjadi jenis tafsir kontemporer.[11]
D. Cara Kerja Tafsir Maudlu’î
Tafsir tematik ini mempunyai kekhasan tersendiri yang dimulai dari cara kerja atau langkah-langkah yang ditempuh para mufasirnya. Al-Farmawy, yang juga menjadi guru besar Fakultas Ushuluddin di Al-Azhar, menjelaskan 7 langkah yang harus ditempuh dalam melakukan penafsiran dengan metode maudlu’î: [12]
1. Memilih atau menetapkan tema/masalah yang akan dibahas.
Pemilihan masalah ini, menurut Quraish Shihab, harus diprioritaskan pada persoalan-persoalan yang sedang terjadi di masyarakat agar terhindar dari pembahasan-pembahasan masalah yang hanya bersifat teoritis. Oleh karena itu seorang mufasir harus mempunyai pengetahuan yang memadai akan problem-problem apa saja yang sedang terjadi di masyarakat yang butuh jawaban dari al-Qur’ân. Ini juga untuk menghindari pembahasan masalah yang tidak berkait langsung pada keidupan sosial saat tafsir itu mulai ditulis.[13]
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema yang sudah dipilih.
3. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut sesuai dengan kronologi masa turunnya disertai dengan dengan pengetahuan tentang asbab al-nuzûl-nya.
4. Memahami munasabah (korelasi) ayat tersebut di dalam suratnya masing-masing serta kaitan ayat tersebut dengan ayat sesudahnya.
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka pembahasan yang sistematis. Agar para mufasir dalam penafsirannya tidak terpengaruh dengan pra-konsepsi yang dibawanya, maka dalam penyusunan kerangka pembahasan ini agar disusun berdasarkan bahan-bahan yang telah diperolah dari langkah-langkah sebelumnya.[14]
6. Melengkapi pembahasan dan uraian tema yang dipilih dengan hadis-hadis yang relevan. Hadis-hadis ini juga perlu ditakhrij untuk mengetahui darajat keshahihannya. Perlu juga dikemukakan pula riwayat-riwayat (atsar) dari para sahabat dan tabi’in.[15]
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlaq dan muqayyad (terikat,) mengsinkronkan ayat-ayat yang secara lahir tampak kontradiktif, menjelaskan yang nasih dan mansuh[16], sehingga ayat-ayat tersebut bertemu dalam satu muara tanpa ada pemaksaan pemaknaan terhadap sebagian ayat dengan makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.[17]
Ali Hasan al-‘Aridl menambahkan satu hal, yaitu:
8. Merujuk pada kalam Arab (ungkapan-ungkapan orang Arab)serta syair-syair mereka dalam menjelaskan lafadl-lafadl yang ada pada ayat yang sedang dikaji.[18]
Walaupun tafsir ini tidak mengharuskan pengertian tentang kosa kata, tetapi, menurut Quraish, pertama kali mufasir harus mencari arti kosa kata tersebut dalam al-Qur’ân karena, seperti yang sudah disebut di atas, tafsir ini merupakan dari tafsir bi al-Ma’sur. Lebih lanjut Quraish menambahkan walaupun dalam langkah-langkah di atas tidak disebutkan tentang asbab al-nuzûl, tetapi ini sangat penting untuk memahami ayat secara cermat walaupun tidak harus dicantumkan dalam uraian ayat.[19] Pendekatan kesejarahan ini dipandang sangat penting. Fazlur Rahman, yang dikutip Umar Shihab, mengatakan bahwa pendekatan historis (asbab al-nuzul) ini nerupakan satu-satunya metode yang lebih dapat diterima, lebih dapat berlaku adil terhadap respon intelektual dan realitas sosial. Subtansial keabadian hanya ada pada firman Allah, sementara keabadian harfiah hukum-hukunya dapat diperhadapkan dengan realias sosial ketika ayat itu diturunkan maupun realitas sosial ketika ayat itu ditafsirkan.[20]
Dalam menggunakan ayat sebagai penjelas ayat lainnya,[21] dikenal dua macam metode yang bisa digunakan. Pertama, dengan metode Tafsir Mutta’il, yaitu menafsirkan ayat dengan ayat berikutnya secara berkaitan atau berhubungan. Dengan kata lain, untuk mengetahui makna satu ayat dapat diperoleh dari keterangan ayat berikutnya.[22] Kedua, dengan metode Munfa’il, yaitu menafsirkan satu ayat dengan ayat lain yang berbeda tempat. Mungkin pada ayat lain atau bahkan berada pada surat lain. [23]
Keterkaitan ayat ini harus benar-benar dipahami agar terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam memahami ayat al-Qur’ân. Kesalahan pemahaman terhadap maksud ayat-ayat al-Qur’ân biasanya terjadi akibat dari pemahaman parsial terhadap satu ayat tanpa menyadari adanya keterkaitan dengan ayat lain.

E. Keistimewaan Tafsir Maudlu’î
Setiap metode memang tidak luput dari kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Metode tafsir tematik ini juga mempunyai kelebihan dibanding dengan metode tafsir lainnya. Kelebihan metode ini antara lain dikemukakan oleh tokoh tafsir seperti Quraish Shihab, Abd al-Hayyi al-Farmawi juga ‘Ali Hasan al-‘Aridl yang mengutip al-Farmawiy, dapat dirangkum dalam 5 hal.
1. Hasil karya tafsir maudlu’î lebih mudah dipahami dibanding karya tafsir metode lain. Ini disebabkan karena maudlu’î hanya terfokus dalam satu tema permasalahan yang tidak terpecah-pecah. Dengan pembahasan pertema ini pesan al-Qur’ân menjadi lebih utuh sehingga lebih mudah diserap orang yang mempelajarinya.
2. Kebenarannya relatif lebih dapat dipertanggungjawbkan karena dalam penafsirannya lebih menggunakan cara-cara tafsir bi al-Ma’tsur (manfsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi).
3. Metode ini memungkinkan mufasir untuk mengetahui suatu masalah dari berbagai aspeknya, sehingga mampu memberikan argumen yang kuat dan jelas dengan mengungkapkan rahasia-rahasia ayat-ayat yang sedang ditafsirkan.
4. Di samping lebih utuh dalam pembahasan dan mudah dalam pemahaman, tafsir ini juga dapat membuktikan bahwa persoalan yang dibahas dalam al-Qur’ân tidak hanya persoalan yang bersifat teoritis saja. Tafsir ini bisa membuktikan keistimewaan al-Qur’ân bahwa persoalan praktis kekinian juga bisa dijawab oleh al-Qur’ân.
5. Metode ini juga bisa membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qur’ân tidak bertentangan satu dengan yang lainnya. Bahkan al-Qur’ân juga sejalan dengan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial.[24]

F. Perbedaan Tafsir Maudlu’î dengan Metode Tafsir Lain
Masing-masing metode tafsir mempunyai ciri khas tersendiri yang dapat diketahui melalui cara kerja metodenya. Menurut Syalthut, metode maudlu’î ini merupakan metode yang paling ideal untuk membimbing umat untuk mengenal macam-macam petunjuk yang dikandung al-Qur’ân dan untuk membuktikan bahwa al-Qur’ân tidak bersifat teoritis belaka tanpa memilliki hubungan yang riil dengan kehidupan masyarakat.[25]
Perbedaan antara metode maudlu’î dengan metode lain dapat diringkas semacam ini:
1. Perbedaan dengan Metode Analisis (Tahlilî)
Metode tahlilî (analisis) adalah penjelasan tentang arti ayat-ayat dari segala segi dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai urutan dalam mushaf melalui penafsiran kosa kata, penjelasan asbab al-nuzul, munasabah serta kandungan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir.[26]
Jika kita lihat apa itu tahlilî, setidaknya ada tiga perbedaan mendasar dengan metode mauæu’î. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain; Pertama, Maudlu’î tidak terikat dengan dengan urut-urutan ayat tetapi lebih terikat pada urut-urutan kronologis turunnya ayat. Tahlilî sangat terikat dengan urutan ayat seperti dalam mushaf. Kedua, maudlu’î hanya membahas ayat dari segi permasalahan yang sudah ditetapkan. Tahlilî menguraiakan segala sesuatu yang ditemui dalam ayat dan tidak terfokus pada satu aspek saja. Ketiga, dalam penafsirannya, mufasir maudlu’î berusaha untuk menuntaskan pembahasan tema yang dipilihnya, sedangkan mufasir tahlilî tidak tuntas dalam membahas persoalan yang ada pada ayat karena ayat yang dijelaskannya berdiri sendir-sendiri, sedangkan banyak ayat yang punya munasabah dengan ayat lain yang tidak berurutan. [27]
2. Perbedaan dengan Metode Komparasi (Muqaran)
Metode muqaran adalah membandingkan ayat-ayat al-Qur’ân yang mempunyai persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi berbeda tetapi membahas masalah yang sama. Tafsir ini juga membandingkan ayat dengan hadits yang sekilas tampak bertentangan, atau juga membandingkan pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ân.
Muqaran tidak menjelaskan petunjuk-petunjuk yang ada pada ayat yang dibandingkannya, kecuali untuk menjelaskan sebab musabab perbedaan redaksionalnya. Sedangkan maudlu’î menghimpun semua ayat yang sesuai dengan tema yang juga mencari persamaan-persamaan serta petunjuk yang ada di dalamnya.[28]
3. Perbedaan dengan Metode Ijmalî
Metode ijmalî adalah manafsirkan dengan cara mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat-ayat al-Qur’ân. Makna-makna yang diungkapkannya adalah makna-makna umum yang telah dikenal luas. Seperti halnya tahlilî, dalam melakukan penafsiran, mufasir dengan metode ijmalî ini juga masih mempunyai keterikatan yang kuat dengan urut-urutan ayat dan surat dalam mushaf. Meskipun ada kemiripan dengan maudlu’î tetapi ijmalî tidak menfokuskan pada satu pembahasan dan masih terikat pada urutan ayat. [29]


G. Beberapa Contoh Karya Tafsir Maudlu’î
Ada beberapa contoh karya tafsir yang dikategorikan sebagai tafsir maudlu’î. Dalam kitab al-Tafsir wa al-Mufasirun disebutkan beberapa contoh karya tafsir maudlu’î, antara lain:
1. Al-Tibyan fî Aqsam al-Qur’ân karya Ibn Qayyim.
2. Majaz al-Qur’ân karya Abu ‘Ubaidah.
3. Mufradat al-Qur’ân karya al-Raghib al-Ashfahaniy.
4. Al-Nasió wa al-Mansuó min al-Qur’ân karya Abu Ja’far al-Nahas.
5. Asbab al-Nuzûl al-Qur’ân karya Abu Hasan al-Wahidi.
6. Ahkam al-Qur’ân karya al-Jashshash.[30]
Ada beberapa karya , yang dicontohkan al-Farmawiy, dari generasi setelah Syalthut yang dari judulnya saja tampak lebih jelas bahwa karya ini merupakan karya tafsir metode mauæu’î. Karya-karya ini antara lain;
1. Al-Mar’atu fi al-Qur’ân karya Abbas al-‘Aqqad.
2. Al-Riba fî al-Qur’ân karya Abu al-A’la al-Maududiy.
3. Washaya Suratu al-Isra’i karya Adb al-Hayy al-Farmawiy.
4. Al-Insan fî al-Qur’ân al-Karîm karya Ibrahim Mahna.[31]

H. Perpaduan Metode tafsir
Untuk mendapatkan karya tafsir yang benar-benar “benar” memang amatlah sulit karena masing-masing metode penafsiran yang dipakai, disamping berbeda, juga mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing. Lalu timbul pertanyaan apakah kita bisa menggabungkan empat metode di atas untuk mendapatkan karya tafsir yang paling “benar”?
Dengan melihat karakteristik masing-masing metode penafsiran di atas tentunya hal ini agaknya tidak mungkin dilakukan, khususnya metode muqaran dan maudlu’î. Ketidakmungkinan ini karena masing-masing metode mempunyai karakteristik dan cara kerja yang berlainan. Muqaran hanya membandingkan dan menjelaskan sebab musabab perbedaan redaksional ayat, sedangkan maudlu’î hanya menfokuskan pada tema tertentu dari tema-tema yang ada dalam al-Qur’ân. Keduanya juga tidak terikat pada urutan teks dalam mushaf, sedangkan ijmalî dan tahlilî sangat terikat dengan urutan ayat dalam mushaf dan tidak mengkhususkan pada pembahasan perbedaan redaksional maupun terfokus pada tema-tema tertentu.
Metode yang mungkin dikawinkan adalah ijmalî dan tahlilî yang cara kerjanya mempunyai kemiripan tetapi dengan resiko metode ijmalî akan menjadi lebih ketahlilîyan. Ijmalî dikenal dengan metode yang mengedepankan aspek kebahasaan, makna gramatikal dan semantik, serta aspek asbab al-nuzul yang kadang-kadang salah satu aspek saja.[32] Ini bisa digabungkan dengan metode tahlilî dengan menggunakan cara kerja tahlilî. Cara kerja tahlilî ditempuh dengan langkah-langkah:
1. Menerangkan munasabah ayat dan asbab al-nuzul.
2. Manganalisis kosa kata dan memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
3. Menerangkan unsur-unsur fashahah, bayan, i’jaz al-Qur’ân.
4. Menjelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam ayat.
5. Menerangkan makna dan maksud syar’i yang terkandung dalam ayat dengan menyandarkan pada ayat lain, hadis Nabi, maupun dengan atsar sahabat dan tabi’in.[33]

III. KESIMPULAN
Sebagai akhir makalah, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi yang bisa dijadikan kesimpulan dari isi tulisan ini.
1. Metode tafsir maudlu’î merupakan metode tafsir modern yang lahir dan berkembang untuk menjawab masalah-masalah kontemporer.
2. Metode maudlu’î mempunyai dua bentuk, yaitu dengan menjelaskan tema utama dari tema-tema kecil yang dibicarakan satu surat tertentu, dan dengan menghimpun seluruh ayat al-Qur’ân yang terkait dengan tema yang sama.
3. Karya tafsir yang menggunakan metode ini memiliki kekhasan yaitu lebih tuntas membicarakan satu tema tanpa terpotong oleh tema lain sehingga lebih mudah untuk memahami pesan-pesan yang dibawa oleh ayat-ayat al-Qur’ân.
4. Walaupun metode maudlu’î mempunyai keunggulan dari metode lain, tetapi tidak secara langsung menjadikannya sebagai metode yang mampu mengungkap seluruh isi al-Qur’ân.
5. Penggabungan metode tafsir yang ada untuk mendapatkan karya tafsir yang “benar” tidak dapat dilakukan, kecuali pada metode tahlilî dan ijmalî, karena perbedaan karakteristik dan cara kerja pada masing-masing metode.***

* Mahasiswa PPS UNISBA Prodi Ilmu Agama Islam (MPI), NPM: 20010008022
[1] M. Quraish Sihab, “Membumikan” Al-Qur’ân (Bandung: Mizan, 2006), Cet.29, 71.
[2] Sihab, “Membumikan” Al-Qur’ân, 71-73.
[3] Abd al-Hayy al-Farmawiy, Metode Tafsir Mawdhu’iy, terj. Suryan A.J. (Jakarta: RajaGrafindo,1996), 11.
[4] A. Warson Munawwir, Al-munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), cet.20, 1564-1565.
[5] Ali Hasan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom (Jakarta: RajaGrafindo, 1994), cet. 2, 78.
[6] Al-Farmawiy, Metode Tafsir, 38.
[7] Ibid, 41.
[8] Al-Farmawiy, Metode Tafsir, 58.
[9] Sihab, “Membumikan” Al-Qur’ân, 113-114.
[10] Al-Farmawiy, Metode Tafsir, 35-36.
[11] Shalahuddin Hamid, Study Ulumul Qur’an (Jakarta: Intimedia, 2002), 327.
[12] Al-Farmawiy, Metode Tafsir, 45-46.
[13] Shihab, “Membumikan” Al-Qur’ân, 115.
[14] Shihab, “Membumikan” Al-Qur’ân, 116.
[15] Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi, 88.
[16] Nasakh (pembatalan/penghapusan) adalah jika ada ayat yang membatalkan (nasikh) ayat lain (mansukh). Penghapusan/pembatalan ini menurut al-Zarqani hanyalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dengan seorang mukallaf, tetapi subtansi dari hukum itu masih tetap ada. Lihat Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqawi, Manahi al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’ân (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.), jilid 2, 72
[17] ‘Am adalah kata yang mempunyai arti umum yang lawan katanya adalah khash yang berarti mempunyai arti khusus atau sebagai pengecualian dari yang ‘am. Sedangkan muthlaq adalah kata-kata yang menunjukkan makna hakekatnya tanpa ada batasan. Lawan dari muthlaq adalah muqayyad yang berarti kata-kata yang mempunyai arti dengan pembatasan tertentu. Lihat Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumi al-Qur’ân. (Riyadl: Mansurat al-‘Ashri al-Hadits, t.t.), 221-227 dan 245-246.
[18] Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi, 88
[19] Shihab, “Membumikan” Al-Qur’ân, 116.
[20] Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’ân: Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam al-Qur’ân (Jakarta: Penamadani, 2003), 9.
[21] Ayat yang saling berhubungan ini diistilahkan dengan munasabah, yaitu korelasi makna antarayat atau antarsurat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus, rasional (‘aqliy), persepsi (hissiy), imajimasi (khayaliy), atau korelasi itu berupa sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan dan perlawanan. Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 86.
[22] Contoh yang muttashil seperti dalam surat al-Baqarah ayat 1 tentang siapa yang disebut sebagai المتقبن dijelaskan oleh ayat ke2-3 Untuk Munfashil sudah dicontohkan pada keterangan sebelumnya.
[23] Shihab, Kontekstualitas al-Qur’ân, 10-13.
[24] Shihab, “Membumikan” Al-Qur’ân, 117. Juga dalam Al-Farmawiy, Metode Tafsir, hal. 52-53 dan dalam Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi, 94-95.
[25] Al-Farmawiy, Metode Tafsir, 48.
[26] Nashiruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’ân; Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 68. Karena adanya kecenderungan mufasir dianggap terlalu besar, maka metode ini melahirkan tujuh corak tafsir yaitu: Tafsir bi al-Ma’sur, Tafsir bi al-Ra’yi, Tafsir Fiqhiy, Tafsir shufiy, Tafsir Falsafiy, Tafsir ‘Ilmiy, Tafsir Adabiy wa al-Ijtima’iy. Lihat Azyumardi Azra (ed.), Sejarah dan Ulum al-Qur’ân (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 174.
[27] Shihab, “Membumikan” Al-Qur’ân, 117-119.
[28] Baidan, Metode Penafsiran, 72-73.
[29] Al-Farmawiy, Metode Tafsir, 50-51.
[30] Muhammad Husain al-Dahabiy, Al-Tafsir wa al-Mufasirun (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000) jilid I, 110. Kitab-kitab ini juga disebutkan oleh Manna’ Qaththan sebagi contoh karya tafsir mauæu’î. Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumi, 342.
[31] Al-Farmawiy, Metode Tafsir, 58-59.
[32] Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’ân (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 113.
[33] Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahammi Kandungan al-Qur’ân (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005), 209-210.

0 komentar: