Rabu, 20 Mei 2009

MUNASABAH AYAT AL-QUR’ÂN.


MUNASABAH AYAT AL-QUR’ÂN
Dasep Hanan Mubarok*
________________________________________________________
Abstrak
The Koran is resource of all the Islamic law resources and is the rule of all the Moslems behavior. It is the way of Moslem life, so it should be comprehended and applied in daily life. The methods to comprehend the Koran can be done by many ways such as through ‘ilm asbab al-nuzul’ (study of the Koran coming down background), ‘ilm munasabah’ (study of the Koran verses relationship and relevance) and so on. ‘Ilm munasabah al-Qur’an’ is a study of the relationship and relevance of Koran verses, meanly between verses with verses and many others, or even it is the relationship between verses with hadith specifically or commonly. There are three reasons why ‘ilm munasabat’ existed, namely: firstly, the being of different opinion about ‘Uthmani Koran modification among the orthodox ‘Ulama and modern ones about verses order or sequence in the Koran; secondly, it is made method of interpreting the Koran verses; and thirdly, the Koran characteristics, its role and its meaning run continuously in dynamic suitable with the ages development. The ‘ilm munasabat al-qur’an, has many advantages: to find implicit meanings of the Koran; to make easy in understanding the Koran; to strengthen the trust on the Koran rightness as God revelation; and to push accusation away that the Koran structure is in disorder.


Keywords: the Koran, study of the Koran relationship and relevance, interpreter, part of verse, verse.

A. Pendahuluan
Al-Qur’ân merupakan sumber acuan nilai, sikap serta perilaku umat Islam. Sebagai acuan tentunya al-Qur’ân harus dipahami terlebih dahulu, baru kemudian diamalkan. Upaya pemahaman al-Qur’ân tersebut dapat dilakukan berbagai cara, melalui ilmu asbab nuzul, munasabah, serta lainnya. 
Jika asbab nuzul mengaitkan satu atau sejumlah ayat dengan konteks sejarahnya, maka fokus perhatian ilmu munasabah antar ayat dan surat bukan pada kronologi historis dari bagian-bagian teks, tetapi aspek pertautan antar ayat dan surut menurut urutan teks. Bagi para mufassir, ilmu munasabah lebih penting daripada ilmu asbab nuzul. Subhi as-Salih mengatakan, wajar jika penjelasan tentang munasabah didahulukan dari asbab nuzul, mengingat begitu banyak manfaat yang timbul dari ilmu munasabah. Apalagi kaidah tafsir mengatakan, 'ukuran dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum, bukan penyebab turunnya ayat yang bersifat khusus. 
Munasabah adalah ilmu yang baru dibandingkan dengan ilmu-ilmu al-Qur’ân lainnya. Tidak banya mufassir yang menggunakan ilmu ini di dalam kitab tafsir mereka, karena ilmu ini dipandang sulit dan rumit. Selain itu, ilmu ini juga kurang diminati untuk dikembangkan. 

B. Pengertian Munasabah
Munasahab adalah salah satu bagian pembahasan 'ulum al-Quran. Munasabah berasal dari kata نا سب – ينا سب – مناسبة yang berarti dekat, serupa, mirip dan rapat. Sementara menurut As-Suyuthi berarti al-musyakalah (keserupaan) dan al-muqarabah (kedekatan). 
Sedangkan menurut istilah, munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-Quran baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya. 
Sementara Az-Zarkasyi memberikah definisi, bahwa munasabah adalah perkara yang menyangkut tafsiran akal. Munasabah ayat terdiri dari hubungan antara permulaan dan penutup ayat. Menurut Manna' al-Qaththan, munasabah ialah sisi keterkaitan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat, atau antar surat di dalam al-Quran. Menurut Ibn 'Arabi, munasabah ialah keterkaitan ayat-ayat al-Quran sehingga seolah-oleh merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Menurut al-Biqa'i, munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian al-Quran, baik ayat dengan ayat maupun surat dengan surat. 
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa munasabah ialah pengetahuan yang mempelajari berbagai hubungan (relevansi) antara ayat atau surat dalam al-Quran. Jadi, dalam konteks 'Ulum Al-Quran, munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antarayat atau antarsurat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional ('aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali); atau korelasi berupa sebab-akibat, 'illat dan ma'lul, perbandingan, dan perlawanan.  
Para ulama tafsir mengelompokkan munasabah ke dalam dua kelompok besar, yaitu hubungan dalam bentuk keterkaitan redaksi dan hubungan dalam bentuk keterkaitan makna (kandungan) ayat atau surat. 
Nama lain dari ilmu ini adalah ilmu tanasubil ayati was suwari, yang artinya juga sama, ilmu yang menjelaskan persesuaian antara ayat atau surah yang satu dengna ayat atau surat yang lain. Istilah lain mengenai munasabah ialah, ta'alluq (pertalian) yang digunakan ar-Razi, yakni ketika menafsirkan ayat 16 – 17 surat Hud. Kemudian Sayyid Qutub menggunakan istilah irtibath (pertalian) sebagai pengganti munasabah, ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat 188. Al-Alusi menggunakan istilah tartib ketika menafsirakan surat Maryam dan Thaha. Bahkan Sayyid Ridla menggunakan dua istilah yakni al-ittishal dan at ta'lil. 
Dalam ilmu ushul fiqih, munasabah dilihat pada hubungan suatu kasus dan makna yang terkandung oleh nash (Quran dan hadits), sehingga hukumnya dapat ditentukan. Kata munasabah dalam hubungan ini tetap diartikan sebagai keterkaitan antara sesuatu dan yang lainnya. 

C. Alasan dan Sejarah Lahirnya Ilmu Munasabah
Setidaknya ada tiga alasan lahirnya ilmu munasabah. Pertama, munasabah terlahir didasari dari kenyataan bahwa sistematika al-Quran sebagaimana terdapat dalam mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan fakta kronologis turunnya. Itulah sebabnya terjadi perbedaan pendapat dilakangan ulama salaf tentang urutan surat (tertib surat) di dalam al-Quran. Pendapat pertama menyatakan bahwa tertib surat merupakan tauqifi; pendapat kedua, ijtihadi; dan ketiga, tauqifi kecuali surat tertentu yang ijtihadi.  
Kedua, selain dari sebab dari perbedaan pendapat tersebut di atas, metode munasabah ayat secara praktis memang diperlukan bagi upaya penafsiran ayat-ayat al-Quran secara tepat. Hal ini dimungkinkan mengingat ; 1) al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur dalam waktu yang relatif lama dengan kondisi dan latar belakang yang berbeda; 2) uslub (gaya bahasa) al-Quran yang sangat tinggi dan indah, sehingga tidak terlalu mudah bagi para mufassir untuk mengetahui makna yang sebanarnya dari satu ayat; dan 3) bentuk lafazh atau teks al-Quran memiliki banyak karakteristik yang tidak mudah untuk dapat secara langsung dipahami, seperti lafazh-lafazh 'am, khash, mutlaq, muqayyad, mujmal, musykil, khafi, muhkam, mutasyabih dan yang lainnya. 
Ketiga, selain dari kedua masalah tersebut di atas, perlu diingat pula bahwa sifat-sifat al-Quran, rutbahnya, dan maksud-maksudnya, dimana nilai petunjuk al-Quran dapat berjalan terus untuk sepanjang masa. Untuk kepentingan hal ini, rasanya tidak mungkin tafsir-tafsir klasik mampu menjawab kebutuhan zaman dewasa ini, yang dinamikanya sangat tinggi. Oleh karenanya, munasabah ayat merupakan metode yang logis dan wajar di zamannya. 
Tercatat dalam sejarah bahwa Imam Abu Bakar al-Naisaburi (wafat 324 H) sebagai oang pertama melahirkan ilmu munasabah di Bagdad. Syekh 'Izzudin ibn 'Abd al-Salam (w. 660 H) menilai munasabah sebagai ilmu yang baik. Menurut al-Suyuti (w. 911 H), orang pertama yang melahirkan ilmu munasabah adalah Syekh Abu Bakar al-Nasaiburi. Apabila al-Quran dibacakan kepadanya, ia bertanya mengapa ayat ini ditempatkan di samping ayat sebelahnya dan apa hikmah surat ini ditempatkan di samping surat sebelahnya. 
Abu Ja'far ibn al-Zubair Syekh Abi Hayyan secara khusus menyusun sebuah kitab mengenai munasabah ayat-ayat dan surat-surat al-Quran dengan judul, al-Burhan fi Munasabah Tartib Suwar al-Quran. Kemudian, syekh Burhan al-Din al-Biqa'I menyusun kitan dalam bidang yang sama dengan judul Nuzum al-Durar fi Tanasub al-Ayi wa al-Suwar.  

D. Macam-macam Munasabah Ayat
Munasabah atau persesuaian atau persambungan atau kaitan bagian al-Quran yang satu bagian dengan yang lain itu bermacam-macam, hal ini setidaknya bisa dilihat dari dua segi . Pertama, dari segi sifat munasabah, dan kedua dari segi materi munasabah.
1. Macam-macam Munasabah Ayat dari segi sifat munasabah
Jika dilihat dari segi sifat munasabah atau keadaan persesuaian dan persambungannya, maka munasabah itu terbagi ke dalam dua macam, yakni. 
a. munasabah yang nyata (dzaahirul irtibath) atau persesuian yang tampak jelas, yakni yang persambungan atau persesuaian antara bagian (ayat atau surat) dengan bagian lainnya terlihat jelas dan kuat. Persesuaiannya dapat berupa penguat, penafsir, penyambung, penjelas, pengecualian, atau pembatasan dari ayat yang lain, sehingga tampak seperti satu kesatuan yang sama. Contohnya, seperti persambungan antara ayat 1 surat al-Isra yang menerangkan bahwa isra Nabi SAW, berikut ini :
                       
Artinya : 
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnyaagar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dengan ayat 2 surat al-Isra yang menjelaskan diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa, berikut ini :
             
Artinya :
Dan kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan kami jadikan Kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain aku,
Persesuaian antara keduanya sangat jelas, yakni mengenai diutusnya nabi dan rasul. 
b. munasabah yang tidak jelas (kafiyyul irtibadh) atau samarnya persesuaian antara bagian al-Quran dengan yang lain, sehingga tidak tampak adanya pertalian untuk keduanya, bahkan seolah-oleh masing-masing ayat atau surat berdiri sendiri, baik karena ayat yang itu diathafkan kepda yang lain, atau karena yang satu bertentangan dengan yang lain. Contohnya, seperti hubungan antara ayat 189 surat al-Baqarah dengan ayat 190 surat al-Baqarah. Ayat 189 surat al-Baqarah berbunyi :
       ••             •       •     
Artinya : 
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
Ayat tersebut menerangkan bulan sabit (tanggal-tanggal) untuk tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji.
Ayat 190 surat al-Baqarah berbunyi :
               
Artinya :
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, Karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat Islam.
Sepintas, antara ayat tersebut tidak ada hubungannya atau hubungan yang satu dengan yang lainnya samar. Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut, ayat 189-nya mengenai soal waktu waji, sedang ayat 190-nya sebenarnya menerangkan, waktu haji dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh itu harus dibalas, walaupun musim haji.

2. Macam-macam Munasabah Ayat dari segi Materi munasabah
Jika dilihat dari segi materi munasabah, maka munasabah itu terbagi ke dalam dua kelompok, yang masing-masing dibagi lagi, yakni.
Munasabah ayat dengan ayat meliputi : 1) Munasabah Kalimat (kata) dengan Kalimat (kata) dalam Ayat, 2) Munasabah Ayat dengan Ayat dalam Satu Surat, dan 3) Munasabah Penutup dan Kandungan Ayat
Munasabah surat dengan surat meliputi : 1) Munasabah Awal Uraian dengan Akhir Uraian Surat, 2) Munasabah Nama Surat dengan Tujuan Turunnya, 3) Munasabah Surat dengan Surat Sebelumnya, dan 4) Munasabah Penutup Surat Terdahulu dengan Awal Surat Berikutnya. Berikut contohnya.
1. Munasabah Kalimat (kata) dengan Kalimat (kata) dalam Ayat
Contoh lafazh alhamdu lillahi (segala puji bagi Allah) dalam surat al-fatihah, dijelaskan oleh lafazh selanjutnya tentang siapa Allah itu, yakni 'rabbi al-'alamina' (Tuhan semesta alam. 
     
 Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

2. Munasabah Ayat dengan Ayat dalam Satu Surat
Contoh lafazh  (orang-orang yang bertakwa) pada surat al-Baqarah ayat 2, yang pada selanjutnya diuraikan ciri-cirinya, yaitu :
         
Artinya : 
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat], dan menafkahkan sebahagian rezki, yang kami anugerahkan kepada mereka.

3. Munasabah Penutup Ayat dan Kandungan Ayat
Contoh dalam surat al-an'am (6) ayat 31.
…..           
Artinya :
Dan mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Ingatlah, amat buruklah apa yang mereka pikul itu.
Ayat yang ditutup dengan kata  untuk membuatnya sejenis dengan kata  dalam ayat tersebut.
4. Munasabah Awal Uraian Surat dengan Akhir Uraian Surat
Munasabah ini dapat dilihat misalnya, pada surat al-Qashash. Permulaan surat menjelaskan perjuangan Nabi Musa, di akhir surat memberikan kabar gembira kepda nabi SAW, yang menghadapi tekanan dari kaumnya, dan akan mengembalikannya ke Makkah. Di awal surat larangan menolong orang yang berbuat dosa dan di akhir surat larangan menolong orang kafir. Munasabahnya terletak pada kesamaan situasi yang dihadapi dan sama-sama mendapat jaminan dari Allah. 
Contoh lain, yakni dalam surat al-Mukminun, ayat pertama surat itu berbunyi    (sesungguhnya beruntung orang-orang yang beriman). Ayat terakhir surat itu berbunyi     (sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak beruntung). 

5. Munasabah Nama Surat dengan Tujuan Turunnya
Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada namanya masing-masing, misalnya surat al-Baqarah, surat Yusuf, surat an Naml, surat Jin. 
Umpamanya dapat dilihat pada surat al-baqarah ayat 67 – 71. Cerita tentang lembu betina dalam surat tersebut mengandung inti pembicaraan tentang kekuasaan Allah membangkitkan orang mati. Intinya, tujuan surat ini adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan pada hari kemudian. 

6. Munasabah Surat dengan Surat Sebelumnya
Hubungan ini berfungsi untuk menerangkan atau menyempurnakan ungkapa pada surat sebelumnya. Contoh ungkapan alhamdulillah dalam surat al-fatihah berkorelasi dengan surat al-baqarah ayat, 152 dan 186.
     
Artinya : 
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

       
Artinya : 
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.

                    
Artinya : 
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

7. Munasabah Penutup Surat Terdahulu dengan Awal Surat Berikutnya
Contohnya , akhir surat al-waqiah (56) yang berbunyi :
     
Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar.
Dengan awal surat berikutnya, yakni surat al-hadid (57), yang berbunyi :
           
Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Munasabahnya adalah antara perintah bertasbih pada akhir surat al-waqiah dan keteranyan bertasbihnya semua yang ada di langit dan di bumi pada awal surat al-hadid.

8. Munasabah Nama Surat dengan Nama Surat 
Jika ditanya, apakah mungkin ada munasabah antara nama surat dengan nama surat setelah atau sebelumnya ? Menurut hemat penulis, mengingat munasabah permasalahan ijtihadi, maka hal tersebut sangat dimungkinkan, tergantung cara pandang mufassir dalam menghubungkannya.

E. Cara Melakukan Penelitian Munasabah Ayat
Untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabat) dalam Al-Quran diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. 
Cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penelitian terhadap penelitian susunan surat, mengingat mushaf utsmani tidak disusun melalui sistem kronologi turut (tartib al-nuzul). Para ulama mencari hubungan antar ayat terakhir surat terdahulu dengan ayat pertama surat berikutnya, seolah-olah hubungan kedua surat itu terjadi secara langsung melalui ayat.  
Cara lain yang ditempuh adalah dengan meneliti kesamaan atau kesesuaian antara ayat dengan ayat atau surat dengan surat, sebab biasanya setiap surat mempunyai topic yang menonjol yang bersifat umum, kemudian di atas topic-topic tadi tersusun bagian-bagian surat yang berhubungan satu sama lainnya. 
As-Suyuthi menjelaskan beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu: 1) memperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian ; 2) memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat; 3) menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak; dan 4) dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasannya dengan benar dan tidak berlebihan.  
Sementara dalam menurut Abdul Qadir Ahmad Ata, langkah-langkah yang ditempuh untuk menemukan munasabah antara lain sebagai berikut : 1) melihat tema sentral dari surat tertentu; 2) melihat premis-premis yang diperlukan untuk mendukung tema sentral; 3) mengadakan kategorisasi terhadap premis-premis berdasarkan jauh dekatnya kepada tujuan; dan 4) melihat kalimat-kalimat yang saling mendukung antara yang satu dengan lainnya. 
Di samping langkah-langkah tersebut, sebagai petunjuk umum, untuk mengetahui munasabah ayat harus didukung pula dengan berbagai pengetahuan lain mengenai al-Quran, teruatama misalnya pengetahuan mengenai zauq adabi (rasa bahasa) dan asbab nuzul.  

F. Kedudukan Munasabah dalam Penafsiran al-Quran
Pengetahuan munasabah sangat terkait dengan kegiatan penafsiran al-Quran, hal ini hampir mirip dengan fungsinya dengan asbab nuzul al-Quran, jika asbab nuzul terkait dengan pengetahuan yang diperoleh melalui riwayah (hadits atau atsar), maka munasabah terkait dengan pengetahuan yang diperoleh melalui ijtihad. Selain itu, munasabah hubungan-hubungan teks dalam bentuknya yang akhir dan final, sementara asbab nuzul mengkaji bagian-bagian teks dengan kondisi eksternal atau konteks eksternal pembentuk teks. Dengan kata lain perbedaan itu adalah perbedaan antara kajian tentang keindahan teks dan tentang kerancuan teks terhadap realitas eksternal. Dari sini kita dapat memahami mengapa ulama-ulama kuno berpendapat bahwa ilmu asbab nuzul adalah ilmu histories, sementara munasabah adalah ilmu stilistika dengan pengertian bahwa ilmu ini memberikan perhatiannya pada bentuk-bentuk keterkaitan antara ayat-ayat dan surat-surat.  
Keterkaitan antara kedunya adalah saling melengkap, apabila suatu ayat belum atau tidak diketahui asbab nuzulnya, atau ada asbab nuzulnya tetapi riwayatnya lemah, maka ada baiknya pengertian (pemahaman) suatu ayat ditinjau dari sudut munasabahnya dengan ayat sebelumnya maupun sesudahnya. Pengetahuan tentang munasabah juga membantu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat dengan baik dan cermat.  
Oleh karenanya, penulis berpendapat bahwa munasabah merupakan salah satu model pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran, terutama bagi muffasir yang tidak mengetahui asbab nuzul suatu ayat atau hadits asbab nuzul yang lemah.
Pandangan para ulama yang menanggapi masalah ayat al-Quran dalam konteks munasabah terbagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama menganggap bahwa setiap ayat atau surat dalam al-Quran selalu ada relevansi (munasabah) dengan ayat atau surat lainnya, sedangkan kelompok kedua, menganggap bahwa setiap ayat atau surat tidak selalu ada relevansi dengan ayat atau surat lainnya, tetapi sebagian besar ada relevansi satu sama lain. 
Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa antara ayat dengan ayat atau surat dengan surat tidak selalu ada relevensi, kalaupun ada, itu baru bisa diketahui melalui seteleh melakukan proses penelitian munasabah terlebih dahulu yang cukup sulit. Kesulitan itu dirasakan karena tidak ada petunjuk yang jelas yang datang dari nash. 
Pengetahuan tentang munasabah bukanlah hal yang tauqifi , melainkan didasarkan pada ijtihad (proses akal) seorang mufassir berdasarkan tingkat pemahaman dan penghayatannya terhadap al-Quran . Hal ini, bukan pula berarti bahwa setiap ayat selalu terdapat korelasi. Oleh karenanya, seorang mufassir tidak perlu memaksakan diri untuk menemukan kesesuaian itu, sebab kalau dipaksakan, maka kesesuaian itu hanyalah dibuat-buat. 
Berkaitan dengan itu, perlu disampaikan bahwa ulama tafsir terbagi pada dua kelompok dalam menanggapi masalah munasabah. Kelompok yang menampung dan mengembangkan munasabah dalam menafsirkan ayat , sedangkan kelompok lainnya tidak memperhatikan munasabah sama sekali dalam menafsirkan sebuah ayat. Ar-Razi adalah orang yang sangat menaruh perhatian kepada munasabah penafsiran, baik hubungan antarayat maupun antarsurat. Sebaliknya, Nizhamudiin an-Naisaburi dan Abu Hayyan al-Andalusi hanya menaruh perhatian besar kepada munasabah antar ayat.  
Menurut al-Zarkasyi, kelompok yang menolak munasabah beralasan, bahwa suatu kalimat akan memiliki munasabah bila disampaikan (diucapkan) dalam konteks yang sama, karena al-Quran diturunkan dalam berbagai konteks, maka al-Quran tidak memiliki munasabah. Ulama yang termasuk kelompok ini adalah 'Izz al-Din ibn 'Abd al-Salam, Syeikh Muhammad Syaltut , dan Ma'ruf Daulabi . 

G. Manfaat Mengetahui Munasabah Ayat
Sebagaimana telah disebutkan ilmu asbab an-nuzul dan munasabah sangat berperan dalam memahami Al-Quran. Dalam hal ini Muhammad 'Abdullah Darraz berpendapat,
"Sekalipun permasalahan yang diungkap oleh surat-surat itu banyak, semuanya merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal dan akhirnya soling berkaitan. Maka bagi orang yang hendak mema¬hami sistematika surat, semestinya ia memperhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga memperhatikan segala permasalahannya. 
Sebagian ulama memandang, ilmu ini sangat penting apabila kita tidak mengetahui sebab nuzul suatu ayat. Hasbi al-Shidiqie berkata, "ulama-ulama kita sangat memperhatikan rahasia asosiasi antara ayat dengan ayat hinga munasabah antara ayat dengan ayat dapat menggantikan sebab nuzulnya. Di samping itu, adanya munsabah adalah untuk membantah pandangan bahwa tema-tema al-Quran kehilangan relevansi anatara satu bagian dengan bagian yang lainnya.  
Sementara menurut Ramli Abdul Wahid, urgensi dari munsabah bagi seorang mufassir sangat penting. Beberapa urgensainya adalah sebagai berikut; 1) menemukan makna yang tersirat dalam susunan dan urutan kalimat-kalimat, ayat-ayat, dan surat-surat al-Quran sehingga bagian-bagian al-Quran itu saling berhubungan dan menjadi satu rangkaian utuh dan integral; 2) mempermudah pemahaman al-Quran; 3) memperkuat keyakinan atas kebenarannya sebagai wahyu dari Allah; 4) menolak tuduhan bahwa susunan al-Quran itu kacau. 
Sementara menurut Abdul Djalal, manfaat mempelajari munasabah ialah sebagai berikut; 1) mengetahui persambungan/hubungan antara bagian al-Quran baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al-Quran; 2) Dapat diketahui mutu dan tingkat kebalagahan bahasa al-Quran dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya sehingga lebih menyakinkan kemukjizatannya, bahwa al-Quran benar-benar dari Allah; 3) membantu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran. 

H. Penutup
Pembahasan mengenai ilmu munasabah merupakan pembahasan yang ijtihadi, bukan tauqifi, mengingat munasabah merupakan hasil dari proses berfikir akal. Munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-Quran baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya. Kategorinya adalah adanya keterikatan (hubungan) redaksi atau adanya keterikatan (hubuangan) maknanya, dengan ayat (surat) setelah atau sebelumnya, secara berurutan (menurut urutan teks quran).
Munasabah merupakan sebuah metode dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran, terutama bagi mufassir bagi yang tidak mengetahui asbab nuzulnya atau riwayat asbab nuzulnya yang lemah.
Jenis munasabah terbagi ke dalam beberapa kategori, keterikatan redaksi atau makna, sifat munasabah serta materi munasabah. Untuk mengetahui munasabah ayat, tidaklah mudah. Bagi kita, setidaknya harus menjadi seorang mufassir terlebih dahulu. Bagi mufassir pun perlu kemampuan khusus dalam konteks memahami bahasa dan makna bahasa Arab dalam mengkorelasikan ayat atau surat dalam al-Quran.
Munasabah, merupakan ilmu yang sangat bermanfaat, yakni sebagai sebuah pendekatan atau metodologi dalam memahami ayat atau surat dalam al-Quran, sehingga diperoleh pemahaman yang dapat diterima akal, yang pada gilirannya memberikan informasi yang rasional serta sebagai acuan nilai, sikap, dan perilaku bagi umat Islam.

Read More......

METODE TAFSIR MAUDLU’Î


METODE TAFSIR MAUDLU’Î
Dasep Hanan Mubarok*
_______________________________________
Abstract

Al-Qur'an is God sentences which of linguistic with man language because the allotment is truly as huda li al-nas. There are immeasurable of method interpretation of al-Qur'an; tahliliy method (analysed), ijmaliy method, muqaran method and maudlu'iy method. This last method now grow for replying problem of peoples. This method is using interpretation of al-Qur'an by the way of mustering all sentences al-Qur'an conversing the one themes or problem (maudlu'), even if the sentence differ in way, place, and time of lowering of and also there are at different letter. Mufassir try to answer one problems by mustering and explain sentences al-Qur'an from various the letters which assumed still one themes with the problems. With this method we do not necessarily open all interpretations books sheets for finding answer of definited problem, because already in separated themes. In our language, this interpretation method often called as tematic interpretation method. Maudlu'iy methode have two form, that is by explaining main theme from smalls themes which discussed one certain letters, and mustering all sentence al-Qur'an related to same theme.

Keyword : al-Qur’an, mufassir, maudlu’iy method.


I. PENDAHULUAN
Al-Qur’ân merupakan kalam Allah yang dibahasakan dengan bahasa manusia karena peruntukannya memang sebagai huda li al-nas. Dengan bahasa manusia inipun masih banyak orang yang tidak mengerti apa maksud al-Qur’ân ketika bertutur dengan ayat-ayatnya. Pada saat awal al-Qur’ân diturunkan, Rasul berperan sebagai mubayyin (pemberi penjelasan)tentang wahyu yang diterimanya. Rasul banyak menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat yang tidak dipahami oleh para sahabat, khususnya menyangkut ayat-ayat yang mempunyai arti yang samar. Tugas sebagai mubayyin ini diemban Rasul sampai beliau wafat.
Sepeninggal Rasul, para sahabat yang mempunyai kapasitas keilmuan yang mumpuni juga meneruskan tugas sebagai penjelas ayat-ayat Qur’an ini. Para sahabat banyak melakukan ijtihad tentang masalah-masalah yang dihadapi umat Islam saat itu. Mereka yang dikenal akrab dengan persoalan tafsir ini adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ud.[1] Meskipun generasi kedua ini melakukan ijtihad dalam memahami al-Qur’ân, tetapi mereka tetap menggunakan hadis nabi dan al-Qur’ân itu sendiri sebagai alat untuk menafsirkan kalam Allah.
Metode tafsir yang digunakan pada generasi sahabat juga tetap digunakan pada generasi setelahnya, yaitu generasi tabi’in. Tafsir pada periode awal ini dinamai tafsir bi al-ma’tsur. Tafsir bi al-ma’sur ini dianggap sebagai tafsir yang paling tinggi tingkatannya. Periode Nabi, sahabat dan tabi’in adalah periode pertama dalam perkembangan tafsir yang berakhir pada sekitar tahun 150 H. Baru pada periode kedua, setelah zaman tabi’in, tafsir bi al-ra’yi yang menggunakan ijtihad para ulama mulai berkembang mengingat banyaknya persoalan-persoalan yang muncul yang belum ada sebelumnya.
Pada perkembangannya corak dan metode tafsir juga menjadi beragam. Corak sastra, filsafat dan teologi, fiqih, tasawuf, dan juga corak sastra budaya kemasyarakatan yang dipelopori oleh Muhammad Abduh.[2] Metode penafsiran juga berkembang. Dari metode tahlilî (analisis) yang menjelaskan kandungan ayat dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat sebagaimana yang ada dalam mushaf al-Qur’ân, sampai pada metode ijmalî, muqaran dan maudlu’i (tafsir tematik).[3] Metode yang terakhir inilah yang sekarang berkembang untuk menjawab persoalan-persoalan umat. Para ulama tafsir mencoba menjawab satu persoalan dengan menghimpun dan menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ân dari berbagai surat yang ada yang dianggap masih satu tema dengan persoalan tersebut. Dengan metode ini kita tidak perlu membuka semua lembar kitab tafsir untuk menemukan jawaban persoalan-persoalan tertentu karena sudah dipilah-pilah dalam tema-tema yang terpisah.
Tulisan ini akan sedikit mengupas apa dan bagaimana sebenarnya tafsir mauæu’î itu mulai dari pengertian, sejarah perkembangan, bentuk metode maudlu’î, cara kerja, serta perbedaannya dengan metode yang lain.


II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Maudlu’î
Kataموضوعي adalah kata bentukan dari kata dasarوضع yang mempunyai beberapa arti; meletakkan, merendahkan, menjatuhkan, menyusun/mengarang dan lain-lain. Kata موضوع sendiri adalah bentuk isim maf’ul dari وضع yang berarti “masalah atau pokok pembicaraan”.[4] Dari arti bahasa ini sudah bisa dipahami bahwa tafsir mauæu’î adalah metode penafsiran al-Qur’ân dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur’ân yang berbicara tentang satu tema atau masalah (maudlu’) sekalipun ayat itu berbeda cara, tempat, dan waktu turunnya serta terdapat pada surat yang berbeda.[5] Dalam bahasa kita, metode tafsir ini sering disebut dengan metode tafsir tematik.

B. Sejarah Perkembangan Tafsir Maudlu’î
Al-Farmawi mengatakan bahwa metode tafsir Maudlu’î ini sudah ada sejak zaman Rasul dalam bentuknya yang sangat sederhana. Menurutnya, Rasul sendiri sudah memulai untuk menafsirkan ayat al-Qur’ân dengan ayat lain yang menurut Rasul kedua ayat tersebut masih mempunyai keterkaitan tema. Rasul pernah menafsirkan kata ظلم dalam surat al-An’am ayat 82: الذين امنوا ولم يلبسوائيمانهم بظلم ditafsirkan dengan ayatان الشرك لظلم عظيم dalam surat Luqman ayat 12. Dengan penafsiran semacam ini, Rasul telah memberi pelajaran kepada para Sahabatnya bahwa ayat-ayat al-Qur’ân mempunyai keterkaitan satu sama lain yang bisa dikelompokkan dalam tema-tema tertentu. Al-Farmawiy juga mengatakan bahwa semua penafsiran al-Qur’ân dengan al-Qur’ân, disamping sebagai al-Tafsir bi al-Ma’tsur, adalah sebagai tafsir maudlu’î. Penafsiran al-Qur’ân dengan al-Qur’ân ini merupakan cikal bakal tumbuhnya metode maudlu’î.[6]
Ada sebuah pertanyaan tentang mengapa para mufasir tidak menggunakan metode tematik yang sudah dicontohkan Rasul? Bahkan kebanyakan para penafsir lebih menggunakan metode tahlilî yang mengikuti runtutan ayat demi ayat dari awal sampai akhir dari pada hanya mengambil tema-tema tertentu. Al-Farmawiy mengemukakan dua alasan mengapa tafsir tematik tidak muncul pada masa klasik.
Pertama, metode tematik ini pada mulanya merupakan kajian atas motif perseorangan untuk mengkaji salah satu tema yang ada dalam al-Qur’ân. Kajian ini kemudian diikuti oleh orang lain dan menjadi trend. Prinsip spesialisasi semacam ini saat itu belum menjadi tujuan kajian, maka para mufasir tidak memakai metode ini.
Kedua, para mufasir saat itu belum merasa perlu untuk melakukan kajian tematik. Alasannya, karena mereka adalah penghafal al-Qur’ân dan menguasai ilmu keislaman yang mendalam dan meliputi segala aspek. Mereka juga mempunyai kompetensi untuk menghubungkan maksud suatu ayat yang berkaitan dengan topik tertentu dengan keilmuan yang dimilikinya.[7] Dua alasan inilah yang membuat metode tafsir tematik belum dikenal pada masa klasik.
Al-Syathibi (w. 1388 M) dianggap sebagai tokoh yang pertama kali melontarkan ide maudlu’î ini dengan pernyataanya bahwa walaupun dalam satu surat al-Qur’ân sering membicarakan banyak masalah tetapi masalah-masalah tersebut bisa dikorelasikan satu dengan yang lain. Maka, untuk memahaminya harus dengan memperhatikan semua ayat yang ada pada surat tersebut. Demikianlah al-Syathibi mengemukakan gagasan barunya. Tokoh modern yang dianggap sebagai pelopor yang melahirkan tafsir maudlu’î adalah Muhammad Abduh dengan tafsir Al-Manar. Walaupun secara umum masih bercorak tahlilî tetapi dianggap mempunyai kecenderungan yang sangat kuat untuk memperhatikan tema-tema tertentu dalam pembahasannya.[8] Akan tetapi, tafsir maudlu’î ini baru benar-benar muncul berawal pada tahun 1960.
Sejak masa kodifikasi tafsir, yang dimulai oleh al-Farra’(w. 207 H), sampai tahun 1960, kitab-kitab tafsir yang ada masih dikategorikan sebagai tafsir tahlilî karena dalam karya-karya tersebut para mufasir masih menafsirkan al-Qur’ân secara berurutan dari satu ayat ke ayat berikutnya sesuai dengan urutan di dalam mushaf. Kemunculan kitab tafsir mauæu’î ditandai dengan kitab " تفسير القراءن الكريم" karya Syaikh al-Azhar, Mahmud Syaltut pada bulan Januari 1960. Di dalam kitab ini tidak lagi dijumpai penafsiran ayat demi ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian tertentu dalam satu surat dan kemudian merangkainya dengan tema sentral dalam surat tersebut. Tetapi karya ini juga masih punya kelemahan. Mahmud Syaltut belum menjelaskan secara menyeluruh pandangan al-Qur’ân tentang satu tema secara utuh. Dalam kitabnya, satu tema dapat ditemukan dalam berbagai surat. Seperti kita ketahui bahwa satu masalah tidak hanya ada dalam satu surat saja, tetapi akan kita jumpai dalam beberapa surat berbeda.
Setelah Syaltut, pada akhir tahun 60-an muncul ulama al-Azhar lainnya; Ahmad Sayyid al-Kumiy, yang melanjutkan kerja Syaltut. Al-Kumiy mulai menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu dan menafsirkannya secara utuh dan menyeluruh.[9]

C. Bentuk Tafsir Maudlu’î
Di atas sudah dijelaskan mengenai lahirnya metode maudlu’î sejak zaman Nabi, sebagai cikal bakalnya, sampai pada masa Mahmud Syaltut dan al-Kumiy. Dari dua karya tafsir maudlu’î awal yang ada, metode ini dapat dibagi menjadi dua bentuk.
Pertama, mufasir membahas satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksud surat baik yang umum dan yang khusus, dan menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang terkandung di dalamnya sehingga satu surat tersebut nampak membicarakan satu masalah yang utuh. Cara inilah yang digunakan Mahmud Syaltut dalam Tafsir al-Qur’ân al-Karimnya.
Kedua, menghimpun seluruh ayat al-Qur’ân yang membicarakan satu tema yang sama dan kemudian diberikan penafsiran atas kumpulan surat tersebut.[10] Cara kedua inilah yang banyak dikenal orang sebagai metode tafsir maudlu’î. Metode ini yang sekarang banyak digunakan para mufasir untuk menafsirkan al-Qur’ân secara tematik berkaitan dengan tema-tema sosial, politik, ekonomi dan lainnya. Pada awalnya metode ini digunakan untuk kepentingan penelitian dan kemudian berkembang menjadi jenis tafsir kontemporer.[11]
D. Cara Kerja Tafsir Maudlu’î
Tafsir tematik ini mempunyai kekhasan tersendiri yang dimulai dari cara kerja atau langkah-langkah yang ditempuh para mufasirnya. Al-Farmawy, yang juga menjadi guru besar Fakultas Ushuluddin di Al-Azhar, menjelaskan 7 langkah yang harus ditempuh dalam melakukan penafsiran dengan metode maudlu’î: [12]
1. Memilih atau menetapkan tema/masalah yang akan dibahas.
Pemilihan masalah ini, menurut Quraish Shihab, harus diprioritaskan pada persoalan-persoalan yang sedang terjadi di masyarakat agar terhindar dari pembahasan-pembahasan masalah yang hanya bersifat teoritis. Oleh karena itu seorang mufasir harus mempunyai pengetahuan yang memadai akan problem-problem apa saja yang sedang terjadi di masyarakat yang butuh jawaban dari al-Qur’ân. Ini juga untuk menghindari pembahasan masalah yang tidak berkait langsung pada keidupan sosial saat tafsir itu mulai ditulis.[13]
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema yang sudah dipilih.
3. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut sesuai dengan kronologi masa turunnya disertai dengan dengan pengetahuan tentang asbab al-nuzûl-nya.
4. Memahami munasabah (korelasi) ayat tersebut di dalam suratnya masing-masing serta kaitan ayat tersebut dengan ayat sesudahnya.
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka pembahasan yang sistematis. Agar para mufasir dalam penafsirannya tidak terpengaruh dengan pra-konsepsi yang dibawanya, maka dalam penyusunan kerangka pembahasan ini agar disusun berdasarkan bahan-bahan yang telah diperolah dari langkah-langkah sebelumnya.[14]
6. Melengkapi pembahasan dan uraian tema yang dipilih dengan hadis-hadis yang relevan. Hadis-hadis ini juga perlu ditakhrij untuk mengetahui darajat keshahihannya. Perlu juga dikemukakan pula riwayat-riwayat (atsar) dari para sahabat dan tabi’in.[15]
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlaq dan muqayyad (terikat,) mengsinkronkan ayat-ayat yang secara lahir tampak kontradiktif, menjelaskan yang nasih dan mansuh[16], sehingga ayat-ayat tersebut bertemu dalam satu muara tanpa ada pemaksaan pemaknaan terhadap sebagian ayat dengan makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.[17]
Ali Hasan al-‘Aridl menambahkan satu hal, yaitu:
8. Merujuk pada kalam Arab (ungkapan-ungkapan orang Arab)serta syair-syair mereka dalam menjelaskan lafadl-lafadl yang ada pada ayat yang sedang dikaji.[18]
Walaupun tafsir ini tidak mengharuskan pengertian tentang kosa kata, tetapi, menurut Quraish, pertama kali mufasir harus mencari arti kosa kata tersebut dalam al-Qur’ân karena, seperti yang sudah disebut di atas, tafsir ini merupakan dari tafsir bi al-Ma’sur. Lebih lanjut Quraish menambahkan walaupun dalam langkah-langkah di atas tidak disebutkan tentang asbab al-nuzûl, tetapi ini sangat penting untuk memahami ayat secara cermat walaupun tidak harus dicantumkan dalam uraian ayat.[19] Pendekatan kesejarahan ini dipandang sangat penting. Fazlur Rahman, yang dikutip Umar Shihab, mengatakan bahwa pendekatan historis (asbab al-nuzul) ini nerupakan satu-satunya metode yang lebih dapat diterima, lebih dapat berlaku adil terhadap respon intelektual dan realitas sosial. Subtansial keabadian hanya ada pada firman Allah, sementara keabadian harfiah hukum-hukunya dapat diperhadapkan dengan realias sosial ketika ayat itu diturunkan maupun realitas sosial ketika ayat itu ditafsirkan.[20]
Dalam menggunakan ayat sebagai penjelas ayat lainnya,[21] dikenal dua macam metode yang bisa digunakan. Pertama, dengan metode Tafsir Mutta’il, yaitu menafsirkan ayat dengan ayat berikutnya secara berkaitan atau berhubungan. Dengan kata lain, untuk mengetahui makna satu ayat dapat diperoleh dari keterangan ayat berikutnya.[22] Kedua, dengan metode Munfa’il, yaitu menafsirkan satu ayat dengan ayat lain yang berbeda tempat. Mungkin pada ayat lain atau bahkan berada pada surat lain. [23]
Keterkaitan ayat ini harus benar-benar dipahami agar terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam memahami ayat al-Qur’ân. Kesalahan pemahaman terhadap maksud ayat-ayat al-Qur’ân biasanya terjadi akibat dari pemahaman parsial terhadap satu ayat tanpa menyadari adanya keterkaitan dengan ayat lain.

E. Keistimewaan Tafsir Maudlu’î
Setiap metode memang tidak luput dari kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Metode tafsir tematik ini juga mempunyai kelebihan dibanding dengan metode tafsir lainnya. Kelebihan metode ini antara lain dikemukakan oleh tokoh tafsir seperti Quraish Shihab, Abd al-Hayyi al-Farmawi juga ‘Ali Hasan al-‘Aridl yang mengutip al-Farmawiy, dapat dirangkum dalam 5 hal.
1. Hasil karya tafsir maudlu’î lebih mudah dipahami dibanding karya tafsir metode lain. Ini disebabkan karena maudlu’î hanya terfokus dalam satu tema permasalahan yang tidak terpecah-pecah. Dengan pembahasan pertema ini pesan al-Qur’ân menjadi lebih utuh sehingga lebih mudah diserap orang yang mempelajarinya.
2. Kebenarannya relatif lebih dapat dipertanggungjawbkan karena dalam penafsirannya lebih menggunakan cara-cara tafsir bi al-Ma’tsur (manfsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi).
3. Metode ini memungkinkan mufasir untuk mengetahui suatu masalah dari berbagai aspeknya, sehingga mampu memberikan argumen yang kuat dan jelas dengan mengungkapkan rahasia-rahasia ayat-ayat yang sedang ditafsirkan.
4. Di samping lebih utuh dalam pembahasan dan mudah dalam pemahaman, tafsir ini juga dapat membuktikan bahwa persoalan yang dibahas dalam al-Qur’ân tidak hanya persoalan yang bersifat teoritis saja. Tafsir ini bisa membuktikan keistimewaan al-Qur’ân bahwa persoalan praktis kekinian juga bisa dijawab oleh al-Qur’ân.
5. Metode ini juga bisa membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qur’ân tidak bertentangan satu dengan yang lainnya. Bahkan al-Qur’ân juga sejalan dengan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial.[24]

F. Perbedaan Tafsir Maudlu’î dengan Metode Tafsir Lain
Masing-masing metode tafsir mempunyai ciri khas tersendiri yang dapat diketahui melalui cara kerja metodenya. Menurut Syalthut, metode maudlu’î ini merupakan metode yang paling ideal untuk membimbing umat untuk mengenal macam-macam petunjuk yang dikandung al-Qur’ân dan untuk membuktikan bahwa al-Qur’ân tidak bersifat teoritis belaka tanpa memilliki hubungan yang riil dengan kehidupan masyarakat.[25]
Perbedaan antara metode maudlu’î dengan metode lain dapat diringkas semacam ini:
1. Perbedaan dengan Metode Analisis (Tahlilî)
Metode tahlilî (analisis) adalah penjelasan tentang arti ayat-ayat dari segala segi dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai urutan dalam mushaf melalui penafsiran kosa kata, penjelasan asbab al-nuzul, munasabah serta kandungan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir.[26]
Jika kita lihat apa itu tahlilî, setidaknya ada tiga perbedaan mendasar dengan metode mauæu’î. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain; Pertama, Maudlu’î tidak terikat dengan dengan urut-urutan ayat tetapi lebih terikat pada urut-urutan kronologis turunnya ayat. Tahlilî sangat terikat dengan urutan ayat seperti dalam mushaf. Kedua, maudlu’î hanya membahas ayat dari segi permasalahan yang sudah ditetapkan. Tahlilî menguraiakan segala sesuatu yang ditemui dalam ayat dan tidak terfokus pada satu aspek saja. Ketiga, dalam penafsirannya, mufasir maudlu’î berusaha untuk menuntaskan pembahasan tema yang dipilihnya, sedangkan mufasir tahlilî tidak tuntas dalam membahas persoalan yang ada pada ayat karena ayat yang dijelaskannya berdiri sendir-sendiri, sedangkan banyak ayat yang punya munasabah dengan ayat lain yang tidak berurutan. [27]
2. Perbedaan dengan Metode Komparasi (Muqaran)
Metode muqaran adalah membandingkan ayat-ayat al-Qur’ân yang mempunyai persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi berbeda tetapi membahas masalah yang sama. Tafsir ini juga membandingkan ayat dengan hadits yang sekilas tampak bertentangan, atau juga membandingkan pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ân.
Muqaran tidak menjelaskan petunjuk-petunjuk yang ada pada ayat yang dibandingkannya, kecuali untuk menjelaskan sebab musabab perbedaan redaksionalnya. Sedangkan maudlu’î menghimpun semua ayat yang sesuai dengan tema yang juga mencari persamaan-persamaan serta petunjuk yang ada di dalamnya.[28]
3. Perbedaan dengan Metode Ijmalî
Metode ijmalî adalah manafsirkan dengan cara mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat-ayat al-Qur’ân. Makna-makna yang diungkapkannya adalah makna-makna umum yang telah dikenal luas. Seperti halnya tahlilî, dalam melakukan penafsiran, mufasir dengan metode ijmalî ini juga masih mempunyai keterikatan yang kuat dengan urut-urutan ayat dan surat dalam mushaf. Meskipun ada kemiripan dengan maudlu’î tetapi ijmalî tidak menfokuskan pada satu pembahasan dan masih terikat pada urutan ayat. [29]


G. Beberapa Contoh Karya Tafsir Maudlu’î
Ada beberapa contoh karya tafsir yang dikategorikan sebagai tafsir maudlu’î. Dalam kitab al-Tafsir wa al-Mufasirun disebutkan beberapa contoh karya tafsir maudlu’î, antara lain:
1. Al-Tibyan fî Aqsam al-Qur’ân karya Ibn Qayyim.
2. Majaz al-Qur’ân karya Abu ‘Ubaidah.
3. Mufradat al-Qur’ân karya al-Raghib al-Ashfahaniy.
4. Al-Nasió wa al-Mansuó min al-Qur’ân karya Abu Ja’far al-Nahas.
5. Asbab al-Nuzûl al-Qur’ân karya Abu Hasan al-Wahidi.
6. Ahkam al-Qur’ân karya al-Jashshash.[30]
Ada beberapa karya , yang dicontohkan al-Farmawiy, dari generasi setelah Syalthut yang dari judulnya saja tampak lebih jelas bahwa karya ini merupakan karya tafsir metode mauæu’î. Karya-karya ini antara lain;
1. Al-Mar’atu fi al-Qur’ân karya Abbas al-‘Aqqad.
2. Al-Riba fî al-Qur’ân karya Abu al-A’la al-Maududiy.
3. Washaya Suratu al-Isra’i karya Adb al-Hayy al-Farmawiy.
4. Al-Insan fî al-Qur’ân al-Karîm karya Ibrahim Mahna.[31]

H. Perpaduan Metode tafsir
Untuk mendapatkan karya tafsir yang benar-benar “benar” memang amatlah sulit karena masing-masing metode penafsiran yang dipakai, disamping berbeda, juga mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing. Lalu timbul pertanyaan apakah kita bisa menggabungkan empat metode di atas untuk mendapatkan karya tafsir yang paling “benar”?
Dengan melihat karakteristik masing-masing metode penafsiran di atas tentunya hal ini agaknya tidak mungkin dilakukan, khususnya metode muqaran dan maudlu’î. Ketidakmungkinan ini karena masing-masing metode mempunyai karakteristik dan cara kerja yang berlainan. Muqaran hanya membandingkan dan menjelaskan sebab musabab perbedaan redaksional ayat, sedangkan maudlu’î hanya menfokuskan pada tema tertentu dari tema-tema yang ada dalam al-Qur’ân. Keduanya juga tidak terikat pada urutan teks dalam mushaf, sedangkan ijmalî dan tahlilî sangat terikat dengan urutan ayat dalam mushaf dan tidak mengkhususkan pada pembahasan perbedaan redaksional maupun terfokus pada tema-tema tertentu.
Metode yang mungkin dikawinkan adalah ijmalî dan tahlilî yang cara kerjanya mempunyai kemiripan tetapi dengan resiko metode ijmalî akan menjadi lebih ketahlilîyan. Ijmalî dikenal dengan metode yang mengedepankan aspek kebahasaan, makna gramatikal dan semantik, serta aspek asbab al-nuzul yang kadang-kadang salah satu aspek saja.[32] Ini bisa digabungkan dengan metode tahlilî dengan menggunakan cara kerja tahlilî. Cara kerja tahlilî ditempuh dengan langkah-langkah:
1. Menerangkan munasabah ayat dan asbab al-nuzul.
2. Manganalisis kosa kata dan memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
3. Menerangkan unsur-unsur fashahah, bayan, i’jaz al-Qur’ân.
4. Menjelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam ayat.
5. Menerangkan makna dan maksud syar’i yang terkandung dalam ayat dengan menyandarkan pada ayat lain, hadis Nabi, maupun dengan atsar sahabat dan tabi’in.[33]

III. KESIMPULAN
Sebagai akhir makalah, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi yang bisa dijadikan kesimpulan dari isi tulisan ini.
1. Metode tafsir maudlu’î merupakan metode tafsir modern yang lahir dan berkembang untuk menjawab masalah-masalah kontemporer.
2. Metode maudlu’î mempunyai dua bentuk, yaitu dengan menjelaskan tema utama dari tema-tema kecil yang dibicarakan satu surat tertentu, dan dengan menghimpun seluruh ayat al-Qur’ân yang terkait dengan tema yang sama.
3. Karya tafsir yang menggunakan metode ini memiliki kekhasan yaitu lebih tuntas membicarakan satu tema tanpa terpotong oleh tema lain sehingga lebih mudah untuk memahami pesan-pesan yang dibawa oleh ayat-ayat al-Qur’ân.
4. Walaupun metode maudlu’î mempunyai keunggulan dari metode lain, tetapi tidak secara langsung menjadikannya sebagai metode yang mampu mengungkap seluruh isi al-Qur’ân.
5. Penggabungan metode tafsir yang ada untuk mendapatkan karya tafsir yang “benar” tidak dapat dilakukan, kecuali pada metode tahlilî dan ijmalî, karena perbedaan karakteristik dan cara kerja pada masing-masing metode.***

* Mahasiswa PPS UNISBA Prodi Ilmu Agama Islam (MPI), NPM: 20010008022
[1] M. Quraish Sihab, “Membumikan” Al-Qur’ân (Bandung: Mizan, 2006), Cet.29, 71.
[2] Sihab, “Membumikan” Al-Qur’ân, 71-73.
[3] Abd al-Hayy al-Farmawiy, Metode Tafsir Mawdhu’iy, terj. Suryan A.J. (Jakarta: RajaGrafindo,1996), 11.
[4] A. Warson Munawwir, Al-munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), cet.20, 1564-1565.
[5] Ali Hasan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom (Jakarta: RajaGrafindo, 1994), cet. 2, 78.
[6] Al-Farmawiy, Metode Tafsir, 38.
[7] Ibid, 41.
[8] Al-Farmawiy, Metode Tafsir, 58.
[9] Sihab, “Membumikan” Al-Qur’ân, 113-114.
[10] Al-Farmawiy, Metode Tafsir, 35-36.
[11] Shalahuddin Hamid, Study Ulumul Qur’an (Jakarta: Intimedia, 2002), 327.
[12] Al-Farmawiy, Metode Tafsir, 45-46.
[13] Shihab, “Membumikan” Al-Qur’ân, 115.
[14] Shihab, “Membumikan” Al-Qur’ân, 116.
[15] Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi, 88.
[16] Nasakh (pembatalan/penghapusan) adalah jika ada ayat yang membatalkan (nasikh) ayat lain (mansukh). Penghapusan/pembatalan ini menurut al-Zarqani hanyalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dengan seorang mukallaf, tetapi subtansi dari hukum itu masih tetap ada. Lihat Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqawi, Manahi al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’ân (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.), jilid 2, 72
[17] ‘Am adalah kata yang mempunyai arti umum yang lawan katanya adalah khash yang berarti mempunyai arti khusus atau sebagai pengecualian dari yang ‘am. Sedangkan muthlaq adalah kata-kata yang menunjukkan makna hakekatnya tanpa ada batasan. Lawan dari muthlaq adalah muqayyad yang berarti kata-kata yang mempunyai arti dengan pembatasan tertentu. Lihat Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumi al-Qur’ân. (Riyadl: Mansurat al-‘Ashri al-Hadits, t.t.), 221-227 dan 245-246.
[18] Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi, 88
[19] Shihab, “Membumikan” Al-Qur’ân, 116.
[20] Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’ân: Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam al-Qur’ân (Jakarta: Penamadani, 2003), 9.
[21] Ayat yang saling berhubungan ini diistilahkan dengan munasabah, yaitu korelasi makna antarayat atau antarsurat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus, rasional (‘aqliy), persepsi (hissiy), imajimasi (khayaliy), atau korelasi itu berupa sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan dan perlawanan. Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 86.
[22] Contoh yang muttashil seperti dalam surat al-Baqarah ayat 1 tentang siapa yang disebut sebagai المتقبن dijelaskan oleh ayat ke2-3 Untuk Munfashil sudah dicontohkan pada keterangan sebelumnya.
[23] Shihab, Kontekstualitas al-Qur’ân, 10-13.
[24] Shihab, “Membumikan” Al-Qur’ân, 117. Juga dalam Al-Farmawiy, Metode Tafsir, hal. 52-53 dan dalam Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi, 94-95.
[25] Al-Farmawiy, Metode Tafsir, 48.
[26] Nashiruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’ân; Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 68. Karena adanya kecenderungan mufasir dianggap terlalu besar, maka metode ini melahirkan tujuh corak tafsir yaitu: Tafsir bi al-Ma’sur, Tafsir bi al-Ra’yi, Tafsir Fiqhiy, Tafsir shufiy, Tafsir Falsafiy, Tafsir ‘Ilmiy, Tafsir Adabiy wa al-Ijtima’iy. Lihat Azyumardi Azra (ed.), Sejarah dan Ulum al-Qur’ân (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 174.
[27] Shihab, “Membumikan” Al-Qur’ân, 117-119.
[28] Baidan, Metode Penafsiran, 72-73.
[29] Al-Farmawiy, Metode Tafsir, 50-51.
[30] Muhammad Husain al-Dahabiy, Al-Tafsir wa al-Mufasirun (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000) jilid I, 110. Kitab-kitab ini juga disebutkan oleh Manna’ Qaththan sebagi contoh karya tafsir mauæu’î. Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumi, 342.
[31] Al-Farmawiy, Metode Tafsir, 58-59.
[32] Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’ân (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 113.
[33] Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahammi Kandungan al-Qur’ân (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005), 209-210.

Read More......

Senin, 18 Mei 2009

HADITS DALAM PANDANGAN ORIENTALIS


HADITS DALAM PANDANGAN ORIENTALIS
Dasep Hanan Mubarok*
_______________________________________
Abstract
Hadith in Islamic teachings has very strategic position. This is because hadith becomes the second resource after Qur’an in the Islamic laws system. Because of its strategic position, hadith is continuously studied and told and also criticized by ‘Ulama, therefore there is a study of hadith critics called “naqd al-hadith” in the term of hadith science. Factually, hadith critics had done since Shahabat like Abu Bakr, ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib and some others which was believed as the beginning of “‘ilm naqd al-hadith” (science of hadith critics). Actually, hadith critics had not been done by ‘Ulama only but also by Orientalists like Goldziher, Joseph Schact, Alferd Guilame and many others. Of course, the Orientalists critics to hadith are very different with ‘Ulama critics, for example Goldziher critics that doubt authenticity of hadith as Mohammad sayings. While Sshact said “we shall not meet any legal tradition of the Prophet which can be considered authentic”. The causes why Orientalist have very deeply attention to hadits critics are: firstly, by exploring hadith they can kill Islam easily; secondly, they want hard to descredit Islam; thirdly, there were some contradictions in materials of hadith; and fourthly, they want to have their own methodology in their exploration to hadith. It appears that Orientalists thought had not influenced the same Orientalists only but also the Moslem intellectuals like Ahmad Amin – Moslem thinker from Egypt – whom was mostly influenced by Goldziher theories in doing hadith critics as shown in his work “Fajr al-Islam”. Likewise Abu Rayyah, the Egypt thinker – was more extreme than Ahmad Amin in criticizing the hadith experts (‘ulama al-hadith) as appeared in his work “Adhwa ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah”. He was also influenced by Goldziher thought. We, as the Islam followers of course, should be elegant to face the case, but must not be indifferently.
Key words: Islamic teachings, strategic position, Islamic law system, hadith critics, Orientalist, hadith experts, thought.


A. Pendahuluan
Kedudukan hadits dalam ajaran Islam menempati posisi yang sangat strategis. Hal itu terjadi karena Hadits menjadi sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Baik al-Qur’an maupun hadits merupakan wahyu, hanya saja yang pertama wahyu mathluw sedang yang kedua wahy ghair mathluw. Posisi hadits seperti ini tidak hanya dijelaskan oleh Nabi saw. bahkan juga oleh Allah swt. Hal itu dapat dilihat dalam Qs. al-Fat-h(48): 10, al-Maidaú (5): 92, al-Nisâ (4): 65 dan lain-lain.
Oleh karena posisinya yang strategis itu, maka hadits terus menerus dikaji dan diriwayatkan. Termasuk dalam kajian hadits itu adalah naqd al-hadits (kritik hadits). Kritik hadits itu sendiri telah dilakukan oleh para sahabat. Kasus Umar yang mengecek kebenaran sebuah riwayat yang menerangkan bahwa nabi telah menceraikan isteri-isterinya, juga pengecekan yang dilakukan sahabat-sahabat lain semacam Abu Bakar al-Shiddiq, Ali ibn Abi Thalib dan lain-lain diyakini sebagai cikal bakal ‘ilmu Naqd al-Hadiå (ilmu kritik hadits). Baik kritik matan maupun sanad.
Kajian hadits ternyata tidak hanya milik kaum muslimin, tetapi para orientalis pun tak ketinggalan melakukan kajian tersebut. Tersebutlah nama-nama semacam Ignaz Goldziher, Joseph Schact, Alferd Guilame dan lain-lain. Berbeda dengan kritik yang dilakukan kaum muslimin salaf, kritik yang mereka lakukan sungguh mencengangkan. Goldziher, misalnya meragukan otentisitas hadits, sedangkan Schact berpendapat lebih jauh dengan mengatakan: We shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be considered authentic.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis mencoba menelusuri pemikiran para orientalis tersebut. Bangunan tulisan ini dimulai dengan melihat batasan orientalisme, pemikiran mereka dalam kajian hadits yang disertai komentar dan bantahan muhadditsin kontemporer, dan pengaruh pemikiran mereka dalam kajian-kajian hadits sepeninggalnya.
B. Orientalisme
Orientalisme berasal dari kata orient dan isme. Kata orient (Latin: orin) berarti terbit, dalam Bahasa Inggris kata ini diartikan direction of rising sun (arah terbitnya matahari). Jika dilihat secara geografis, maka kata ini mengarah pada negeri-negeri belahan timur, sebagai arah terbitnya matahari. Negeri-negeri itu terentang dari kawasan timur dekat, yang meliputi Turki dan sekitarnya hingga timur jauh yang meliputi Jepang, Korea dan Indonesia, dan dari selatan hingga republic-republik muslim bekas Uni Soviet serta kawasan Timur Tengah hingga Afrika Utara. Lawan dari kata orient adalah oksident yang berarti arah terbenamnya matahari yang meliputi bumi-bumi belahan barat. Sedangkan kata isme berasal dari Bahasa Belanda (Latin: isma, Inggris: ism) yang berarti a doctrin theory or system (pendirian, keyakinan dan system). Oleh karena itu secara etimologis orientalisame dapat diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia timur.
Edward Said memberikan tiga pengertian dasar orientalisme. Pertama, orientalisme yang diartikan sebagai sebuah cara kedatangan yang berhubungan dengan Bangsa Timur. Kedua, sebuah gaya pemikiran yang berdasarkan ontologi dan epistemologi antara Timur dan Barat pada umumnya. Ketiga, sebuah gaya Barat yang mendominasi dan menguasai kembali dunia Timur.
Namun demikian, karena yang menjadi ancaman terhadap Barat adalah Islam, maka pengertian orient dalam konteks orientalisme dunia Timur Islam termasuk Andalusia, Sisilia, dan wilayah Balkan, yang secara geografis tidaklah termasuk wilayah Timur. Dengan demikian orientalisme yang dimaksud adalah kajian akademis yang dilakukan ilmuwan Barat mengenai Islam dan kaum Muslimin dari seluruh aspeknya, dengan tujuan untuk membentuk opini umum dalam hal tertentu, sebagai siasat menguasai dunia Timur Islam yang mencerminkan pertentangan latar belakang ideology, histories dan kultur antara Barat dan Timur. Itulah sebabnya Musthafa Mafaur menyebutkan karakteristik orientalisme antara lain:
a. Mentalisme orientalis merupakan suatu kajian yang memiliki satu keterkaitan kuat dengan penjajahan Barat di Dunia Timur, karena fenomena orientalisme mempunyai hubungan organis dengan fenomena imperialisme sehingg antara keduanya tidak dapat dipisahkan.
b. Orientalisme merupakan kajian yang memiliki keterkaitan kuta dengan misionarisme, dalam hal ini misalnya orientalis Samuel Zwemmer, Mc Donald, dan Alfred Guilame.
c. Orientalisme adalah kajian yang disebabkan adanya keterkaitan kepentingan secara organis dengan imperialisme dan misionarisme, oleh karena itu kemungkinan untuk memiliki komitmen ilmiah khusunya pada kajian-kajian Islam kecil sekali.
d. Orientalisme adalah kajian yang memberi andil secara efektif bagi pengambilan kebijakan Barat terhadap negeri-negeri Muslim. Untuk contoh ini dapat disebutkan Prof. Snouck Hougranje yang pernah menjadi penasehat utama Kolonial Belanda.
Pada mulanya kajian orientalisme sangat luas mencakup pelbagai bidang ilmu pengetahuan dari Timur, namun setelah menyadari bahwa kekuatan Islam lah yang berbahaya, dengan dua sumber utamanya, maka orientalis pun memberikan perhatiannya terhadap al-Hadîå di samping al-Qur’ân. Adapun sebab-sebab yang mendorong perhatian tersebut adalah:
a. Melalui penyelidikan hadits, para orientalis dengan mudah dapat membunuh Islam.
b. Adanya keinginan yang kuat dari para orientalis untuk mendiskreditkan Islam.
c. Terdapatnya banyak kontradiksi dalam materi korpus hadits.
d. Kontradiksi dalam korpus tadi memerlukan sebuah metode, kebutuhan metode tersebut merangsang para orientalis untuk memperkenalkan metode penyelidikan mereka.


C. Hadits Dalam Pandangan Orientalis
Menurut dugaan Azami bahwa orientalis pertama yang melakukan kajian terhadap hadits adalah Ignaz Goldziher lewat bukunya Muhammadenische Studien (1890 M.). upaya itu kemudian diikuti oleh Joseph Schact, seorang professor muda yang pakar dalam bidang hukum Islam. Di antara karyanya yang berkaitan dengan hadits dan sekaligus melambungkan namanya adalah The Origin of Muhammadan Jurisprudence (1950 M.) dan an Introduction to Islamic Law (1960 M.). Adapun para orientalis sesudahnya tidaklah menrbitkan kajian hadits, kecuali beberapa makalah yang isinya jauh dari penelitian hadits. Meski A. Guillaume menulis buku The Tradition of Islam, namun kajiannya tidaklah menyuguhkan hal baru kecuali bersandar pada penelitian Goldziher di atas, oleh karena itu ia tidak ilmiah.
Itulah sebabnya makalah ini hanya akan membidik dua tokoh itu saja, yakni Ignaz Goldziher dan Joseph Schact yang menurut Yaqub, masing-masing karyanya telah menjadi “kitab Suci” pertama dan “kitab Suci” kedua dalam literatur kajian hadits di Barat.
1. Goldziher dan Metode Kritik Hadits
Ignaz Goldziher adalah seorang orientalis berkebangsaan Hungaria. Ia dilahirkan dari keluarga Yahudi pada tahun 1850 M. Goldziher belajar di Budapest, Berlin dan Liepzig. Pada tahun 1873 ia pergi ke Syiria, mempelajari ilmu-ilmu keislaman di bawah asuhan Syekh Tahir Al- Jazairi, kemudian pindah ke Palestina lalu ke Mesir dan belajar dari ulama-ulama Al-Azhar. Sepulangnya dari Al-Azhar ia diangkat menjadi guru besar di Budapest. Ia meninggal pada tahun 1921 M.
Goldziher banyak menulis mengenai keislaman yang dipublikasikan dalam Bahasa Jerman, Inggris dan Perancis. Salah satu karyanya adalah Muhammedanische Studien (Studi Islam) sebuah karya yang menjadi rujukan utama kajian hadits di Eropa. Dalam bukunya tersebut ia antara lain berkesimpulan bahwa yang disebut hadits itu diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi saw.
Goldziher mengakui bahwa kritik hadits sebenarnya telah dilakukan sejak dahulu, namun menurutnya kritik-kritik tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, hal itu karena metode yang digunkannya lemah. Para ulama terdahulu, menurut Goldziher lebih banyak menggunakan kritik sanad dan kurang menggunakan kritik matan. Oleh karena itu ia menawarkan suatu metode baru yaitu kritik matan saja.
Sebenarnya para ulama telah melakukan kritik matan tersebut, namun yang dimaksud Goldziher adalah kritik matan yang mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dan sebagainya.
Salah satu kritiknya antara lain ia alamatkan kepada Bukhari. Menurutnya pemilik kitab shahih ini hanya melakukan kritik sanad dan mengabaikan kritik matan. Akibatnya setelah dilakukan penelitian oleh Goldziher, salah satu hadits yang ada dalam sahihnya itu ternyata palsu.
Hadits yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Zuhri yang berbunyi:


“Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga mesjid, Masjid al-Haram, Masjid Nabawi dan Mesjid al-Aqsa”.
Menurut Goldziher hadits ini merupakan pesanan Abdul Malik bin Marwan, seorang khalifah dari Dinasti Umayah di Damaskus yang merasa khawatir apabila Abdullah ibn Zubair, yang memproklamirkan sebagai seorang khalifah di Makkah, mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam yang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al-Quds yang pada saat itu berada pada wilayah Syam. Untuk itulah ia memerintahkan al-Zuhri untuk membuat hadits sebagaimana di atas. Kesimpulannya, menurut Goldziher, hadits itu adalah bikinan ulama (al-Zuhri) meski ia ada dalam Kitab Sahih Bukahri.
Pendapat bahwa al-Zuhri ini pemalsu hadits antara lain diperkuat pula kata-kata al-Zuhri sendiri. Menurut Goldziher, al-Zuhri mengatakan:
“Inni haulai al-umara akrahuna ‘ala kitabah ahadits (dengan tanpa “al” ma’rifah)”.
Kata-kata ini menurut Goldziher mengindikasikan bahwa al-Zuhri dipaksa untuk menuliskan hadits yang belum pernah ada pada saat itu. Demikianlah di antara tuduhan Goldziher mengenai hadits. Menurut Yaqub , dengan pendapatnya itu tidak terlalu sulit untuk diidentifikasi bahwa Goldziher bertujuan untuk meruntuhkan kepercayaan umat Islam terhadap Imam Bukhari yang kredibilitasnya telah diakui kaum Muslimin, sehingga pada akhirnya semua kitab hadits dalam sahihnya tidak dipakai lagi oleh kaum muslimin. Kemudian setelah Bukhari, maka imam-imam Hadits pun akan ia bantai satu persatu, sehingga hilanglah hadits dari peredaran dan hilang pula salah satu pilar agama Islam.
Pendapat Goldziher ini mendapat bantahan dari para ulama ahli hadits. Azmi misalnya mengatakan bahwa Goldziher mendasarkan teorinya pada fakta sejarah yang salah (diselewengkan). Menurutnya, al-Zuhri tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan sebelum tahun 81 H. sedang Abdul Malik berfikir untuk membangun Qubbah Sakhra -yang konon akan dijadikan pengganti Ka’bah itu- pada tahun 68 H. lagi pula kalau diandaikan pada tahun 68 tersebut al-Zuhri bertemu dengan Abdul Malik, maka usianya tak lebih dari 10 sampai 18 tahun, sebab menurut sejarawan al-Zuhri lahir sekitar tahun 50 s.d. 58 H. karenanya sangat tidak logis, anak seusia itu sudah demikian popular di luar daerahnya untuk diminta “membuat” hadits. Inilah ketakrasionalan teori Goldziher. Argumen ini pun tertolak sebab pada waktu itu di Syam masih banyak generasi sahabat dan tabi’in, dan mereka tak mungkin berdiam diri.
Mengenai perkataan al-Zuhri bahwa beliau disuruh menuliskan hadits, menurut Azmi, Goldziher mengutipnya salah, sebab ia meninggalkan “al” dalam kata “ahadits”. Padahal jika kutipan sesuai teks aslinya, seperti dalam riwayat Ibn Sa’ad dan Ibn ‘Asakir maka ia akan berbunyi: inna haulai al-umara akrahuna ‘ala kitabah al-ahadits (dengan “al” ma’rifah)”. Jjika demikian maka kesannya bukan dipaksa untuk menuliskan hadits yang belum pernah ada pada saat itu, melainkan hadits itu telah ada hanya saja belum terhimpun. Demikianlah Goldziher telah memalsukan atau sekurang-kurangnya keliru dalam mengutip sumber rujukan.


2. Joseph Schact dan Teori “Projecting Back”
Selain Goldziher, sesudahnya muncul orientalis baru yakni Joseph Schact. Ia dilahirkan di Silisie Jerman pada tanggal 15 Maret 1902. Schact belajar filologi klasik, teologi, dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipizig. Pada tahun 1923, ketika usianya baru mencapai 21 tahun, ia meraih gelar doktornya dari Universitas Berslauw.
Pada tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Fribourg, dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagai guru besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke universitas Kingsbourg, dan dua tahun berikutnya ia mengajar tata bahasa Arab dan Bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (kini universitas Kairo) Mesir. Ia tinggal di sana sebagai Guru Besar sampai tahun 1939.
Ketika perang dunia II meletus, Schact meninggalkan Kairo menuju Inggris dan bekerja di Radio BBC London. Meski perang telah usai ia tidak pulang ke Jerman, melainkan tetap tinggal dan menikah dengan wanita Inggris. Pada tahun 1947 ia menjadi warga Negara Inggris. Ia kuliah di Oxford, dan mendapat magister (1984) dan Doktor (1952) di universitas tersebut.
Pada tahun 1954 ia hijrah ke Leiden dan menjadi Guru Besar di sana, kemudian pada tahun 1959 ia hijrah lagi ke Universitas Columbia New York dan menjadi Guru Besar di sana hingga meninggal dunia pada tahun 1969.
Schact adalah pakar hukum Islam, namun karyanya tidak terbatas pada disiplin tersebut melainkan tersebar dalam pelbagai disiplin ilmu, seperti ilmu kalam, sains, filsafat dan lain-lain. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah The Origin of Muhammadan Jurisprudence (1950), dan An Introduction to Islamic Law (1960).
Di antara obyek penelitiannya adalah kitab al-Muwaththa karya Imam Malik, kitab al-Umm karya al-Syafi’i , al-Muwaththa karya Muhammad al-Syaibani, dan lain-lain. Schact menyatakan bahwa pada masa al-Sya’bi (w. 110 H.) hukum Islam belum eksis. Dengan demikian bila ditemukan hadits-hadits berkaitan dengan hukum Islam, maka hadits-hadits itu adalah buatan orang-orang sesudah al-Sya’bi. Menurut Schact hukum Islam baru dikenal semenjak pengangkatan para qadhi, sedang pengangkatan ini baru terjadi pada masa Bani Umayah.
Dalam memberikan keputusan-keputusannya, para qadhi itu -menurut Schact- memerlukan legitimasi orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Oleh karena itu para qadi tadi menisbahkan keputusan-keputusannya pada tokoh sebelumnya, seperti halnya orang Irak menisbahkan kepada al-Nakha’i. Mereka tidak hanya menisbahkan kepada orang-orang terdahulu yang jaraknya relatif masih dekat, melainkan menisbahkan juga pada mereka yang lebih dahulu lagi, sehingga pada tahapan akhir pendapat-pendapat tadi dinisbahkan kepada Nabi saw. Menurut Schact inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadits, yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada tokoh di belakang. Itulah sebabnya teori Schact dinamakan. “Projecting Back”.
Schact selanjutnya berpendapat bahwa dengan munculnya aliran-aliran fiqh ini klasik ini maka melahirkan konsekuensi munculnya ahli hadits. Menurutnya ahli hadits ini pun telah memalsu hadits guna mengalahkan aturan-aturan yang dibuat oleh kelompok ahli fqh.
Dengan teorinya itu, maka Joseph Schact berkesimpulan: We shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be considered authentic.
Pemikiran Schact ini pun mendapat bantahan dari Azami. Untuk meruntuhkan teori Schact tersebut Azami mengadakan penelitian tentang hadits-hadits nabawi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah Suhail bin Abu Shalih (w. 138 H.). ayah Suhail (Abu Shalih) adalah murid Abu Hurairah sahabat Nabi saw. Dengan demikian sanadnya adalah Nabi – Abu Hurairah – Abu Shalih – Suhail.
Melalui penelitiannya Azami menemukan bahwa dalam thabaqah al-tsalitsah (jenjang ketiga) jumlah rawinya berkisar antara 20 sampai 30 orang, dengan domisili yang terpencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sedang redaksi hadits yang mereka riwayatkan itu sama. Menurut Azami adalah mustahil jika mereka pernah berkumpul untuk membuat hadits palsu dengan redaksi sama.
Teori Schact ini pun dapat dibantah dengan alasan bahwa fiqh atau hukum Islam sudah dikenal semenjak Nabi saw. Sebab fiqh adalah ijtihad, dan pada masa sahabat bahkan masa Nabi ijtihad itu sudah ada. Jadi tidak benar bahwa hokum Islam baru muncul pada masa Bani Umayah ketika para qadhi diangkat. Dengan demikian tuduhan Schact tidaklah benar.
D. Pengaruh Faham Orientalis
Sebagaimana disebutkan di muka bahwa karya kedua tokoh orientalis di atas telah menjadi “kitab suci” dalam literature hadits di Eropa, oleh karena itu tak mengherankan kalau kedua karya ini sangat berpengaruh terhadap para pengkaji sepeninggalnya. Azmi, seperti telah dikutip di depan, bahkan berpendapat bahwa pasca Goldziher dan Schact tidak ada karya ilmiah berkenaan dengan kajian hadits.
The Tradition of Islam karya A. Guillaume, masih menurut Azmi, dikatakan tidaklah menyuguhkan hal baru selain menyandarkannya pada karya Goldziher itu. Demikian pula pengaruh Schact itu luar biasa hebatnya, konon Prof. Anderson, seorang orientalis lulusan Cambridge University, tidak mau menjadi promoter Ahmad Amin –seorang lulusan fakultas Ushuludian Universitas Kairo- hanya karena tema penelitian yang diajukannya mengkritik Schact. Bahkan Anderson menganjurkan untuk menyesuaikannya dengan pikiran Schact.
Namun pengaruh itu ternyata tidak terbatas pada orientalis semata, terhadap para pemikir Muslim pun kedua karya tadi ikut berpengaruh, sebut saja misalnya Ahmad Amin. Seorang pemikir Muslim Mesir kenamaan ini banyak terkecoh oleh teori-teori Goldziher dalam melakukan kritik hadits, hal ini seperti terlihat dalam karyanya Fajr al-Islam. Demikian juga Muhammad Abu Rayyah, yang juga pemikir dari Mesir. Bahkan dalam karyanya Adhwa ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah ia lebih sadis dalam membantai ahli-ahli hadits dibanding Ahmad Amin. Juga tak kalah menariknya adalah ulama kontemporer Muhammad al-Ghazali yang melakukan kritik hadits dengan prinsip-prinsip yang dipakai Goldziher, baik dalam karyanya al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl Fiqh wa Ahl Hadits, maupun dalam diskusi-diskusinya di Kairo.
Untuk menanggapi pemikiran mereka, antara lain ditulislah kitab al-Sunnaú wa makanatuòa fi Tasyri’ al-Islam (1949) oleh al-Syiba’i, kemudian Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami dalam bukunya Dirasat fi al-Hadiå al-Nabawi wa Tarió wa Tadwiniòi. kitab Muhammad al-Ghazali antara lain dibantah oleh Syaikh Salman al-Audah dalam Hadi’ ma’a Muhammad al-Ghazali, Dr. Syaikh Rabi bin Hadi al-Madkhali dalam Kasyf Mauqif al-Ghazali min al-Sunnaú wa ahliha wa Naqd Ba’dh ara’ihi dan Syeikh Shalih al-Syeikh dalam kitabnya al-Mi’yar li ‘Ilmi al-Gazali fi Kitabiòi al-Sunnaú al-Nabawiyaú.
E. Penutup
Demikianlah pemikiran dua tokoh orientalis terhadap kajian hadits. Goldziher meragukan otentisitas hadits sedang Schact memandang bahwa tidak ada satupun hadits –khususnya dalam hokum Islam- yang bisa dipandang autentik.
Kedua orientalis ini telah meninggalkan pengaruh yang begitu kuat, tidak hanya terhadap para orientalis berikutnya, tetapi juga terhadap para pemikir muslim., meski menurut al-Syiba’i pengaruh mereka lambat laun menurun, sebab di antara para orientalis itu ada yang diam-diam merevisi pandangannya dengan menerbitkan risalah yang menyanggah pandangan Goldziher tersebut.
Orientalisme karena pelbagai karakteristiknya sebagaimana yang dikatakan Mafaur - memang harus diwaspadai. Hal itu bukan berarti pemikiran mereka diabaikan sama sekali, melainkan ia semestinya dibaca dan dianalisa dengan kritis. Adalah keliru mengabaikan pemikiran mereka sama sekali, sebagaimana juga salah jika diikuti secara membabi buta.***

Read More......

KEMAJUAN DAULAH ABBASIAH



KEMAJUAN DAULAH ABBASIAH
Dasep Hanan Mubarok*
_________________________________

Abstract

‘Daulah Abbasiyah’ was the top of Islamic civilization, was established in 132 hijriya/750 AD and centered in Baghdad. In this time, the Islamic civilization got glory, magnificence and advance in various fields. The golden ages of ‘Daulah Abbasitah’ was gotten when was led by Harun al-Rasyid. The indication of the golden ages can be seen from its advance in various sciences and technology, either in politics of governmence, economy (by building ‘bait al-maal’), educational fields (by the establishment of of Bait al-Hikmah and Dar ‘Ulum, and in the fieldd of arts and culture.


Keyword: Daulah, Islamics ages, and Harus al-Rasyid. Harun al-Rasyid.


A. PENDAHULUAN
Untuk menelusuri, memahami dan menginterpretasi-kan sejarah, dapat dilihat dari dua sisi bangunan makna yaitu : sisi bangunan makna luar (ekstrinsik) dan sisi bangunan makna dalam (intrinsik). Yang dimaksud dengan sejarah dari bangunan sisi luarnya adalah bahwa sejarah itu tidak lebih dari rekaman peristiwa/kejadian masa lampau pada diri individu dan masyarakat, baik dalam aspek politik, sosial, ekonomi, maupun budaya dan agama. Sedangkan yang dimaksud dari sisi bangunan dalamnya adalah sejarah merupakan penalaran kritis dan usaha yang cermat untuk mencari kebenaran, suatu penjelasan yang cerdas tentang sebab-sebab dan asal-usul segala sesuatu, suatu pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi.
Selanjutnya Ibnu Khaldun berpendapat, bahwa sejarah mempunyai tujuan praktis, yaitu untuk menangkap isyarat-isyarat yang dipantulkan i’bar (contoh moral) dalam kejadian sejarah.
Dalam sisi bangunan makna intrinsik sejarah, terdapat sebuah kaidah sebab akibat (kausalitas). Maka demikian pulalah keadaannya dengan keruntuhan Daulah Umayyah dan bangkitnya Daulah Abbasiyyah.
Dalam menelusuri sejarah Daulah Abbasiyah, dari sisi bangunan makna ekstrinsik dan bangunan makna intrinsiknya selama Daulah ini memegang tampuk pemerintahan yang dimulai sejak tahun 132 – 655 H/749-1259 M., tidak akan cukup, kalau hanya dituangkan dalam tulisan ini. Maka penulis membatasi pembahasan ini hanya pada kemajuan peradaban yang dicapainya.

B. KEMAJUAN PERADABAN DAULAH ABBASIYAH
Berdasarkan literatur yang ada, masa pemerintahan Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam. Pada masa ini, kedaulatan kaum Muslimin telah sampai ke puncak kemuliaan, baik kekayaan, kemajuan atau kekuasaan. Pada masa daulah ini pula telah lahir berbagai ilmu Islam dan berbagai ilmu penting telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Istana para Khalifah menjadi medannya para penyair, ulama dan sarjana. Daulah Abbasiyah mempunyai kedaulatan atas dunia Islam, pada saat Eropa tenggelam dalam kebodohan .
Pada saat itu Timur sedang berada dalam periode kebangkitan pikiran dimana Islam menghembuskan semangat ini. Maka bangkitlah Persia, Turki, India, bahkan penduduk China dan Jepang turut bangkit kebudayaannya di masa Daulah ini. Daulah Abbasiyah berpusat di Baghdad, lima setengah abad lamanya, yaitu sejak berdirinya tahun 132 H/750 M sampai jatuhnya ke tangan Hulagu pada tahun 656 H/260 M.
Tingkat kemakmuran yang paling tinggi adalah pada zaman Harun al-Rasyid. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat tak tertandingi. Al-Ma’mundalam hal gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan dengan menerjemahkan buku-buku Yunani .
Berikut beberapa kemajuan Daulah Bani Abasiah.
C. Bidang-bidang kemajuan Daulah Bani Abasiah
I. Bidang Politik dan Pemerintahan
Daulah Abbasiyah mewarisi wilayah kekuasaan yang telah ditaklukkan para pendahulunya, baik oleh Daulah Umayyah maupun Khulafâ al-Rašidûn. Hanya saja, pada pemerintahan Daulah Abbasiyah ini wilayah kekuasaannya tidak seluas kekuasaan Umayyah, karena adanya berbagai kekuasaan yang berdiri sendiri, tidak mengakui kekuasaan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad, seperti Daulah Umayyah di Spanyol, Fatimiyah di Afrika Utara yang berpusat di Mesir, dan Qaramittah di Jazirah Arab.
Walaupun demikian, Daulah Abbasiyah mengalami kemajuan dalam bidang politik, dan pemerintahan. Adapun politik para khalifah Abbasiyah antara lain :
1. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab Murni sementara para menteri, para gubernur, panglima dan pegawai lainnya diangkat dari golongan mawali keturunan Persia.
2. Kota Baghdad adalah sebagai kota negara terbuka bagi semua Bangsa (kota internasional) menjadi pusat kegiatan dalam semua aspek kehidupan, kegiatan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
3. Para Khalifah dan pembesar lainnya pada umumnya memandang penting dan mulia terhadap ilmu pengetahuan serta mendorong dan membuka seluas-luasnya kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
4. “Kebebasan” dihormati, dijunjung tinggi, dan dijamin serta diakui sepenuhnya.
5. Para mawali diberi hak sepenuhnya dalam menjalankan roda pemerintahan.
Sementara itu, kemajuan dalam pengelolaan di bidang pemerintahan mengalami kemajuan, negara dipimpin oleh kepala negara yang bergelar Khalifah, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan pemerintahan negara, ditetapkan suatu jabatan yang bernama wizarat dan pemangkunya wazir (Perdana Menteri).
Pada zaman Daulah Abbasiyah, terdapat dua macam wizarat, yaitu :
1. Wizarat Tanfiz, dimana wazirnya hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah (Presidentil Kabinet).
2. Wizarat Tafwiì, di mana wazirnya diberi kekuasaan penuh untuk memimpin pemerintahan, sedangkan Khalifah hanya sebagai lambang saja (Parlementer Kabinet).
Untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah diwan yang bernama diwan al-Kitabah (Sekretariat Negara) yang dipimpin oleh Raisul Kitab (Sekretaris Negara) dan dibantu oleh beberapa sekretaris.
a. Katib al-Rasail (Sekjen Urusan Persuratan)
b. Khatib al-Kharraj (Sekjen Urusan Keuangan)
c. Katib al-Jund (Sekjen Urusan Tentara)
d. Katib al-Syurthah (Sekjen Kepolisian)
e. Katib al-Qadha (Sekretaris Urusan Kehakiman).
Dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu oleh beberapa Rais al-Diwan (Menteri Departemen), disesuaikan dengan kebutuhan, antara lain:
a. Diwan al-Óarraj (Departemen Keuangan)
b. Diwan al-Diyah (Departemen Kehakiman)
c. Diwan al-Zimaam (Departemen Pengawasan Urusan Negara)
d. Diwan al-Jund (Departemen Ketentaraan)
e. Diwan al-Mawali wa al-Gilman (Departemen Perburuhan)
f. Diwan al-Barid (Departemen Perhubungan)
g. Diwanal-Rasail (Departemen Urusan Arsip)
h. Diwan al-Ziman al-Nafaqaú (Departemen Pengeluaran Keuangan)
i. Diwan al-Nadhar fi al-Maìalim (Departemen Pembelaan Rakyat Tertindas)
j. Diwan al-Aódas wa al-Šarthah (Departemen Keamanan dan Kepolisian)
k. Diwan al-‘Atha’ wa al-Hawaaij (Departemen Sosial)
l. Diwanal-Aóasyam (Departemen Urusan Keluarga dan Wanita)
m. Diwan al-Akarah (Departemen Umum dan Tenaga Kerja).
Kebijakan-kebijakan politik lainnya adalah .
1. memindahkan ibukota negara dari Damaskus ke Bagdad;
2. memusnahkan keturunan Bani Umayyah;
3. merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri, Abbasiyah memberi peluang dan kesempatan yang besar kepada kaum Mawali;
4. menumpas pemberontakan-pemberontakan;
5. menghapus politik kasta.

II. Bidang Ekonomi
Sejarah politik mencerminkan bahwa seorang “pembangun” dari satu “negara” dan pengganti-penggantinya di zaman permulaan adalah seorang ekonom dan organisator. Kalau bukan demikian, negara tidak akan terbangun atau tidak akan kuat dasar-dasarnya.
Dalam zaman permulaan Daulah Abbasiyah, pembendaharaan negara penuh berlimpah ruah, uang masuk lebih dari uang keluar. Khalifah Mansur benar-benar telah meletakkan dasar yang sangat kuat bagi perekonomian dan keuangan negara. Salah satu contoh dari keahlian Mansur dalam soal ekonomi dan organisasi serta ketajaman pandangan jauhnya, yaitu pesannya kepada putra mahkotanya, Mahdi. Pada waktu Khalifah Mansur meninggal setelah memimpin negara selama 22 tahun, dalam kas negara tersisa kekayaan sebanyak 810.000.000 dirham. Harun al-Rasyid sebanyak 900.000.000 dirham. Kecakapan Rasyid dalam mengelola kas negara sama dengan kecakapan Mansur, hanya Rasyid lebih banyak mengeluarkan, mungkin karena zaman yang berbeda.
Untuk mengurus keuangan negara, maka dibentuklah Bait al-Mâl, sumber uang yang masuk ke Bait al-Mâl pada saat itu berasal dari :
a. al-Óarraj (Pajak Hasil Bumi)
b. al-Jizyah (Pajak Badan)
c. al-Zakaú (Zakat)
d. al-Fa’i (Rampasan Perang).
Baik Khalifah Mansur ataupun khalifah-khalifah sesudahnya telah membangun perekonomian negara dengan berhasil, baik dalam bidang pertanian, perindustrian ataupun dalam bidang perdagangan.

III. Bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Seni Budaya
Pada masa Daulah Abbasiyah merupakan zaman memasyarakatkan ilmu pengetahuan dalam dunia Islamm. Kebudayaan dan peradaban pada zaman ini berkembang amat pesat. Di zaman ini pula umat Islam telah merambah jalan baru bagi kehidupan akal dan keilmuan yang merupakan mata rantai yang tidak putus dari evolusi kebudayaan. Bermacam-macam buku ilmu pengetahuan dari berbagai bangsa diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Usaha penerjemahan buku-buku dari bahasa Persia, Yunani, dan Hindu ke dalam bahasa Arab telah dirintis sejak masa pemerintahan al-Mansur. Al-Mansur mempunyai perhatian sangat besar kepada pengembangan ilmu kedokteran, astronomi, matematika dan ilmu budaya. Pada zamannya, lahirlah beberapa pujangga terkenal diantaranya Ibnu Muqaffa’, penerjemah kitab Kalilah Dawa Dimnah.
Usaha pengembangan ilmu pengetahuan terus dilanjutkan pada masa Khalifah penerusnya, dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun, Khalifah kelima dan ketujuh pada Daulah Abbasiyah. Meskipun penerjemahan karya-karya Yunani telah dirintis sejak masa Bani Umayyah. Tetapi dampak nyata ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dimulai terutama setelah al Ma’mun membentuk tim penerjemahan dan membangun sebuah pusat keilmuan dengan nama Bait al-Hikmaú (Pusat Kebijaksanaan) pada tahun 830 M. Pusat keilmuan ini dilengkapi dengan observatorium bintang dan bintang universitas (Dar al-Ulûm).
Al-Ma’mun memberikan tugas penerjemahan di Bait al-Hikmah kepada : Yahya bin al-Batriq (w. 815 M), Muhammad bin Salam 777 – 839 M), Pemimpin Bait al-Hikmah; Hajjaj bin Yusuf bin Mathar (786 – 833 M), dan penerjemah terkemuka Hunain bin Ishak (809-874 M).
Setelah Hunain bin Ishak, penerjemah penting lainnya adalah anaknya sendiri yaitu Ishak bin Hunain bin Ishak (w. 910 M), segera setelah era penerjemahan dan pendirian sekolah-sekolah ini, lahirlah ilmu-ilmu dari masyarakat Islam sendiri, yan gmemperkaya dan memperjelas karya-karya asing yang telah ada dan yang sama sekali baru. Cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berkembang sangat utuh, bukan saja ilmu-ilmu pasti dan kedokteran, melainkan juga mencakup teologi dan keagamaan. Teologi rasional Mu’tazilah yang telah muncul sejak akhir pemerintahan Bani Umayyah, mencapai kematangan konsep-konsepnya, terutama ketika sudah mengalami kontak dengan pemikiran filsafat Yunani, demikian pula Asy’ariyah. Sedangkan dalam pemikiran hukum Islam, muncul imam-imam madzhab yang empat yaitu : Imam Abu Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713 – 795 M), Imam Syafi’i (767 – 820 M), dan Imam Ahmad bin Hambal (780 – 855 M). Demikianlah dalam masa Daulah Abbasiyah, berkembang empat unsur kebudayaan yang mempengaruhi kehidupan akal, yaitu kebudayaan Persia, kebudayaan Yunani, kebudayaan India dan kebudayaan Arab.
Sedangkan perhatian para Khalifah Abbasiyah terhadap seni budaya sangat besar, yaitu mencakup sya’ir-sya’ir, seni musik, arsitektur, kaligrafi, penjilidan buku, dan lain-lain. Dalam bidang sya’ir yang terkenal di antaranya adalah : Ibnu Muqaffa’, Abu Nawas (wafat sekitar 803 M) keturunan Persia yang hidup sezaman dengan Khalifah Harun al-Rasyid, kemudian Bashshar bin Bard dan lain-lain. Sednagkan dalam bidang arsitektur, Khalifah Abbasiyah membangun istana-istana, masjid-masjid yang indah, tempat peristirahatan, dan lain sebagainya. Selain dari pada itu dalam bidang seni kaligrafi, Abbasiyah mencatat beberapa nama besar diantaranya : Ibnu Muqlah bin Bawwab, dan Yaqut al-Musta’shim. Ibnu Muqlah merumuskan metode penulisan kaligrafi yang dipakai sampai sekarang.
Pusat kegiatan ilmu yang terpenting pada zaman ini antara lain adalah :
1. Hijaz, Makkah, dan Madinah, menjadi pusat kegiatan ilmu Hadits dan Fiqh.
2. Iraq, kota-kota Iraq dalam zaman ini terkenal sebagai pusat kegiatan segala macam ilmu, seperti : Tafsir, hadits, fiqh, bahasa, sejarah, ilmu kalam, falsafah, ilmu alam, ilmu pasti, musik dll.
3. Mesir, kota Fistat di Mesir mempunyai peranan sangat besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan masjid Amr bin ‘Ash menjadi pusatnya.
4. Syria: masjid Damaskus sebagai pusat ilmu, Damaskus, Halab dan Beirut, berkembang bermacam-macam ilmu dengan ciri khas masing-masing, seperti di Beirut dikaji hukum internasional termasuk hukum Romawi.
5. Isfahan, Istana Bani Buwaihi di Isfahan merupakan pusat para ulama, sarjana dan pujangga, di sini ilmu dikembangkan di seluruh negeri. Dan juga kota Bukhari yang menjadi istana bani Buwaihi, juga sebagai pusat ilmu.
6. Thabristan : Istana Amir Thabristan Qabus bin Wasymakir yang terletak di tepi laut Qazwin juga sebagai pusat ilmu.
7. Ghaznah : Sultan Mahmud Ghaznah adalah raja yang sangat mementingkan ilmu pengetahuan.
8. Hataib Saifud Daulah menjadikan istananya tempat pertemuan para ulama, sarjana dan pujangga.
9. Istana Ibnu Thulun, zaman ibnu Thulun di Mesir, terkenal dengan sejumlah ulama Muahdditsin, ahli sejarah, pengarang, penya’ir, Masjid Amr bin ‘Ash dan Masjid Ibnu Thulun menjadi pusat ilmu.
Sebelum Dinasti Abbasiyah, pusat dunia Islam selalu bermuara pada masjid. Masjid dijadikan centre of education. Pada dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan kepada ma’had. Lembaga ini kita kenal ada dua tingkat yaitu:
1. Maktab/kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terrendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja melajar dasar-dasar ilmu keagamaan.
2. Tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin mendalami ilmu pengetahuannya pergi keluar daerah atau ke mesjid-mesjid bahkan ke rumah-rumah gurunya .
Pada perkembangan selanjutnya mulailah dibuka madrasah-madrasah yang dipelopori Niamul Muluk yang memerintah pada tahun 456-485 H. lembaga inilah yang kemudian berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah. Nizamul muluk merupakan pelopor pertama yang mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada seperti sekarang ini dengan nama madrasah. Madrasah ini dapat ditemukan di Bagdad, Balkan, Naishabur, Hara, Isfahan, basrah, mausil dan kota-kota lainnya. Madrasah yang didirikan ini mulai dari tingkat rendah, serta meliputi segala bidang ilmu pengetahuan .
Selain itu, ada beberapa kemajuan teknologi (sains), diantaranya .
1. Astronomi, ilmu ini melalui karya India Sindhid kemudian diterjemahkan oleh Muhammad Ibnu Ibrahim al-Farazi (777 M). Ia adalah astronom muslim pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk mengukur ketinggian bintang. Di samping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali ibnu isa Al-Asturlabi, Al-Farghani, Al-Battani, Umar Al-Khayyam dan Al-Tusi.
2. Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah Ali ibnu Rabban Al-Tabrani. Pada tahun 850 ia mengarang buku Firdaus al-hikmah. Tokoh lainnya adalah Al-Razi , Al-Farabi dan Ibnu Sina.
3. Ilmu Kimia. Bapak ilmu kimia Islam adalah Al-Jabir ibnu Hayyan (721-815). Sebenarnya banyak ahli kimia Islam ternama lainnya seperti Al-Razi, al-Tuqrai yang hidup pada abad ke 12 M.
4. Sejarah dan geografi. Pada masa Abbasiyah sejarawan ternama abad ke-3 H adalah Ahmad bin Al-yakubi , Abu jafar Muhammad bin Jafar bin Jarir Al-Tabari. Kemudian ahli ilmu bumi yang termasyhur adalah Ibnu Khurdazabah (820-913 M).
Sementara itu menurut DR. Jaih Mubarok, ada beberapa usaha yang dilakukan oleh khalifah dan ulama dalam rangka memajukan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu agama .
1. Bait al-hikmaú: Perpusatakaan, penerjamahan dan observatium
2. Berkembangnya beberapa ilmu agama (Kalam Mu’tazilah, Hadits dan Fiqih)

D. Faktor-faktor Pendorong Kemajuan Daulah Abbasiyah
1. Faktor Ekstern :
 Sistem politik pemerintahan Bani Umayyah yang didasarkan atas golongan, suku, keluarga dan kawan. Juga penindasan terus-menerus terhadap pengikut Ali r.a. khususnya dan terhadap Bani Hasyim pada umumnya.
 Menganggap rendah terhadap kaum Muslimin yang bukan bangsa Arab dari penguasa Bani Umayyah sehingga tidak memberikan kesempatan dalam pemerintahan.
 Pelanggaran terhadap ajaran-ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia secara terang-terangan. Serta gaya hidup mewah dan berfoya-foya di kalangan penguasa Bani Umayyah dan pembesar-pembesarnya.
2. Faktor Intern :
 Faktor ekonomi yang stabil membawa dampak kepada tumbuhnya kemakmuran rakyat dan kekayaan negara yang kian melimpah membawa berkah tersendiri bagi perkembangan dan kemajuan Bani Abbasiyah dalam segala bidang.
 Politik yang stabil dan administrasi kenegaraan yang kian rapi dan teratur membawa kepada keteraturan, baik dalam taraf perundang-undangan maupun dalam menuntun rakyat secara semesta. Sementara itu, masing-masing pejabat negara dapat menjalankan tugasnya dengan administrasi yang teratur.
 Pertahanan dan keamanan yang handal, yang didukung oleh kekuatan militer yang kuat, yang dapat melindungi negerinya terhadap ancaman yang datang dari luar maupun dari dalam negeri sendiri.
 Aspek keilmuan yang kian berkembang membawa begitu cemerlangnya dan tenarnya kerajaan atau kekhalifahan Daulah Bani Abbasiyah, sehingga populer ke seluruh belahan Dunia. Hal ini mengindikasikan adanya peran para ulama dan ilmuwan yang cukup besar dalam memberikan andil bagi kemajuan sebuah negeri Abbasiyah yang kian menjadi adikuasa.

E. PENUTUP
Masa Daulah Abbasiyah merupakan salah satu cerminan masyarakt zaman keemasan dalam Islam. Kemajuan peradaban baik dari aspek politik, sosial, ekonomi, maupun budaya, dan agama dikarenakan usaha pa ra Khalifah untuk membangun dan memajukan pemerintahannya serta dipengaruhi oleh faktor intern dan ekstern.
Pada zaman keemasan ini mestinya yang harus kita jadikan cerminan, bahwa peradaban Islam sebenarnya bisa maju apabila memang masyarakat ingin maju dan menerapkan keberagaman Islam dengan benar. ***

Read More......

ISLAM DI MASA PENJAJAHAN BARAT



(Abad Ke-16 Hingga Abad Ke-19)
Dasep Hanan Mubarok*

________________________________________

Abstract

The European invasion to Islamic world is never same, but always be comprehensive and effective. The West penetration to Islamic world in the Middle East was firstly done by two famous Europe nations, namely England and France. England tried to dominate the Kingdom of Mughal in India. During the late middle of the 18th century, the traders of England placed in a solid footing in Benggali. The rate time of between 1798 – 1818, with the engagement or military action, the colonial government of England had spread all over India except Indus valley that had just surrendered in 1843 – 1849. And the France needed to cut communication relationship between England in the west and India in the east. Therefore, the gate to India namely Egypt succeeded to be subjugated and dominated by Napoleon Bonaparte in 1798 AD. Another cause of why the France subjugated Egypt was to market its industry products. Egypt, beside it was easy to be reached by the France, it also became the activities centre of distributing the goods to Turkey, Syiria until the Far East.

Keywords : the West colonial, European nations, domination, military action.



A.Pendahuluan
Umat Islam mengalami puncak kejayaan kedua pada masa tiga kerajaan Besar berkuasa, yakni kerajaan Turki Usmani, Safawi dan Mughal (India).Namun, seperti pada masa kekuasaan Islam terdahulu, lambat laun kekuatan Islam menurun. Bersamaan dengan kemunduran tiga kerajaan tersebut, bangsa Barat mulai menunjukkan usaha kebangkitannya.
Kebangkitan bangsa Barat bermuara pada khazanah ilmu pengetahuan dan metode berpikir yang dikembangkan umat Islam yakni rasional. Di antara jalur masuknya ilmu pengetahuan Islam ke Eropa yang terpenting adalah Spanyol. Ketika Spanyol Islam mengalami kejayaan, banyak orang-orang Eropa yang datang untuk belajar ke sana, kemudian menerjemahkan karya-karya ilmiah umat Islam. Hal ini dimulai sejak abad ke-12.
Gerakan renaisans bangsa Eropa melahirkan perubahan-perubahan besar. Abad ke-16 dan ke-17 merupakan abad yang paling penting bagi kebangkitan Eropa, sementara pada akhir abad ke-17 itu pula, dunia Islam mulai mengalami kemunduran. Banyak penemuan-penemuan dalam segala lapangan ilmu pengetahuan dan kehidupan yang diperoleh orang-orang Eropa. Perkembangan itu semakin cepat setelah ditemukan mesin uap, yang kemudian melahirkan revolusi industri di Eropa. Teknologi perkapalan dan militer berkembang dengan pesat. Sehingga, dengan kekuatan baru yang mereka miliki, Eropa menjadi penguasa lautan dan bebas melakukan kegiatan ekonomi dan perdagangan dari dan ke seluruh dunia, tanpa mendapat hambatan berarti dari lawan-lawan mereka yang masih menggunakan persenjataan sederhana dan tradisional.
Dalam pada itu, kemorosotan dunia Islam tidak terbatas pada bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, melainkan mereka juga ketinggalan dari Eropa dalam industri perang, padahal keunggulan Turki Usmani di bidang ini pada masa-masa sebelumnya telah diakui oleh seluruh dunia.
Dengan organisasi dan persenjataan modern, pasukan perang Eropa mampu melancarkan pukulan telak terhadap daerah-daerah kekuasaan Islam. Kekuatan-kekuatan Eropa menjajah satu demi satu negara Islam. Perancis menduduki Aljazair pada tahun 1830, dan merebut Aden dari Inggris sembilan tahun kemudian. Tunisia ditaklukkan pada tahun 1881, Mesir pada tahun 1882, Sudan pada 1889.
Sementara itu, wilayah Islam di Asia Tengah juga tak luput dari penjajahan Barat. Umat Islam di Asia Tengah menjadi sasaran pendudukan Uni Soviet. Tulisan ini mencoba memaparkan keadaan dunia Islam pada masa penjajahan Barat.

B. Pembahasan
1. Kemunduran Kerajaan Usmani dan Ekspansi Barat ke Timur Tengah
Kemajuan-kemajuan Eropa dalam teknologi militer dan industri perang membuat kerajaan Usmani menjadi kecil di hadapan Eropa. Akan tetapi nama besar Turki Usmani masih membuat Eropa segan untuk menyerang atau menguasai wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Islam. Namun kekalahan besar Turki Usmani dalam peperangan di Wina pada tahun 1683 M, membuka mata Barat bahwa Turki Usmani telah benar-benar mengalami kemunduran jauh sekali.
Sejak kekalahan dalam peperangan Wina itu, kerajaan Turki Usmani menyadari akan kemundurannya dan kemajuan Barat. Usaha-usaha pembaharuan mulai dilaksanakan dengan mengirim duta-duta ke negara Eropa, terutama Perancis, untuk mempelajari kemajuan mereka dari dekat. Pada tahun 1720 M, Celebi Muhamad diutus ke Paris dan diinstruksikan untuk mengunjungi pabrik-parbik, benteng-benteng pertahanan dan institusi-institusi lainnya. Ia kemudian memberi laporan tentang kemajuan teknik, organisasi angkatan perang modern, dan kemajuan lembaga-lembaga sosial lainnya. Laporan-laporan tersebut mendorong Sultan Ahmad III (1703 – 1730 M) untuk memulai pembaharuan. Untuk tujuan itu, didatangkanlah ahli-ahli militer Eropa, salah satunya adalah De Rochefort, Pada tahun 1717, ia datang ke Istambul dalam rangka membentuk korps artileri dan melatih tentara Usmani dalam ilmu-ilmu kemiliteran modern.
Usaha pembaruan yang dilakukan tidak terbatas pada bidang milliter. Dalam bidang-bidang lain pembaharuan juga dilaksanakan, seperti pembukaan percetakan di Istanbul pada tahun 1737 M, untuk kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan. Demikian juga gerakan penerjemahan buku-buku Eropa ke dalam bahasa Turki, sebagaimana telah dilakukan oleh para penguasa Abbasiyah ketika menerjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab.
Meskipun demikian, usaha-usaha pembaharuan itu bukan saja gagal menahan kemunduran Turki Usmani, tetapi juga tidak membawa hasil yang diharapkan. Penyebab kegagalan tersebut karena kelemahan raja-raja Turki Usmani karena wewenangnya sudah menurun. Di samping itu, keuangan negara yang terus mengalami kebangkrutan, tidak mampu menunjang usaha pembaharuan. Faktor terpenting yang menyebabkan kegagalan usaha pembaharuan adalah karena ulama dan tentara Yenissari yang sejak abad ke-17 M menguasai suasana politik kerajaan Turki Usmani menolak pembaharuan.
Usaha pembaruan Turki Usmani baru mengalami kemajuan setelah Sultan Mahmud II membubarkan tentara Yenissari pada tahun 1826 M. Struktur kerajaan dirombak, lembaga-lembaga pendidikan moderen didirikan, buku-buku Barat diterjemahkan, siswa berbakat dikirim belajar ke Eropa, dan sekolah-sekolah kemiliteran didirikan. Akan tetapi, meski banyak mendatangkan kemajuan, hasil yang diperoleh dari gerakan pembaharuan tetap tidak berhasil menghentikan gerakan Barat terhadap dunia Islam. Selama abad ke-18, Barat menyerang wilayah kekuasaan Turki Usmani di Eropa Timur. Akhir dari serangan itu adalah ditandatanganinya Perjanjian San Stefano (Maret 1878 M) dan perjanjian Berlin (Juli 1878 M), antara kerajaan Turki Usmani dengan Rusia.
Ketika perang dunia I meletus, Turki Usmani bergabung dengan Jerman yang kemudian mengalami kekalahan. Akibat dari peristiwa itu kekuasaan kerajaan Turki semakin ambruk. Partai Persatuan dan Kemajuan memberontak kepada Sultan dan dapat menghapuskan kekhalifahan Usmani, kemudian membentuk Turki modern.
Di pihak lain, satu demi satu daerah-daerah kekuasaan Turki Usmani di Asia dan Afrika melepaskan diri dari Konstantinopel. Hal ini disebabkan timbulnya nasionalisme pada bangsa-bangsa yang ada di bawah kekuasaan Turki. Bangsa Armenia dan Yunani yang beragama Kristen berpaling ke Barat, memohon bantuan Barat untuk kemerdekaan tanah airnya, bangsa Kurdi di pegunugan dan Arab di padang pasir dan lembah-lembah juga bangkit untuk melepaskan diri dari cengkeraman penguasa Turki Usmani.

2. Penjajahan Eropa Terhadap Dunia Islam
Invasi Eropa terhadap dunia Islam tidak pernah sama, tetapi selalu secara menyeluruh dan efektif. Penetrasi Barat terhadap dunia Islam di Timur Tengah pertama-tama dilakukan oleh dua bangsa Eropa terkemuka, Inggris dan Perancis. Inggris terlebih dahulu mencoba menguasai kerajaan Mughal India. Selama pertengahan terakhir abad ke-18, para pedagang Inggris telah memantapkan diri di Benggali. Rentang waktu antara 1798 – 1818, dengan perjanjian atau aksi militer, pemerintahan kolonial Inggris tersebar ke seluruh India, kecuali lembah Indus, yang baru menyerah pada tahun 1843 – 1849.
Sementara itu Perancis merasa perlu memutuskan hubungan komunikasi antara Inggris di barat dan India di timur. Oleh karena itu, pintu gerbang ke India, yakni Mesir berhasil ditaklukkan dan dikuasai oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798 M. Alasan lain Perancis menaklukkan Mesir adalah untuk memasarkan hasil-hasil industrinya. Mesir, di samping mudah dicapai dari Perancis juga dapat menjadi sentral aktivitas untuk mendistribusikan barang-barang ke Turki, Syiria hingga ke timur jauh.
Pada tahun 1799 M., Napoleon Bonaparte meninggalkan Mesir karena situasi politik yang terjadi di negara tersebut. Ia kemudian menunjuk jenderal Kleber menggantikan kedudukan Napoleon di Mesir. Dalam suatu pertempuran laut antara Inggris dan Perancis, jenderal Kleber kalah dan meninggalkan Mesir pada tahun 1801 M., dan di Mesir terjadi kekosongan kekuasaan.
Kekosongan tersebut dimanfaatkan oleh seorang perwira Turki, Muhammad Ali dengan didukung oleh rakyat, berhasil megambil alih kekuasaan dan mendirikan dinasti. Pada masa itu Mesir sempat menegakkan kedaulatan dan melakukan beberapa pembeharuan, namun pada tahun 1882 M. dapat ditaklukkan kembali oleh Inggris.
Faktor utama yang menarik kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ke negara-negara muslim adalah ekonomi dan politik. kemajuan Eropa dalam bidang industri menyebabkannya membutuhkan bahan-bahan baku, di samping rempah-rempah. Mereka juga membutuhkan negeri-negeri tempat memasarkan hasil industri mereka. Untuk menunjang perekonomian tersebut, kekuatan politik diperlukan sekali. Akan tetapi persoalan agama seringkali terlibat dalam proses politik penjajahan barat atas negeri-negeri muslim. Trauma Perang Salib masih membekas pada sebagian orang barat, terutama Portugis dan Spanyol, karena kedua negara ini dalam jangka waktu lama, berabad-abad berada di bawah kekuasaan Islam.
India, pada masa kemajuan kerajaan Mughal adalah negeri yang kaya dengan hasil pertanian. Hal ini mengundang Eropa yang sedang mengalami kemajuan untuk berdagang ke sana. Di awal abad ke-17 M, Inggris dan Belanda mulai menginjakkan kaki di India. pada tahun 1611 M, Inggris mendapat izin menanamkan modal, dan pada tahun 1617 M belanda mendapat izin yang sama.
Kongsi dagang Inggris, British East India Company (BEIC), mulai berusaha menguasai wilayah India bagian timur, ketika merasa cukup kuat. Penguasa setempat mencoba mempertahankan kekuasaan dan berperang melawan Inggris. Namun, mereka tidak berhasil mengalahkan kekuatan Inggris. Pada tahun 1803 M, Delhi, ibukota kerajaan Mughal jatuh ke tangan Inggris dan berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Inggris. Tahun 1857 M, kerajaan Mughal dikuasai secara penuh, dan raja yang terakhir dipaksa meninggalkan istana. Sejak itu India berada di bawah kekuasaan Inggris yang menegakkan pemerintahannya di sana. Pada tahun 1879, Inggris berusaha menguasai Afghanistan dan pada tahun 1899, Kesultanan Muslim Baluchistan dimasukkan ke bawah kekuasaan India-Inggris.
Asia Tenggara, negeri tempat Islam baru berkembang, yang merupakan daerah penghasil rempah-rempah terkenal pada masa itu, menjadi ajang perebutan negara-negara Eropa. Kerajaan-kerajaan Islam di wilayah ini lebih lemah dibandingkan dengan kerajaan Mughal, sehingga lebih mudah ditaklukkan oleh bangsa Eropa.
Kerajaan Islam Malaka yang berdiri pada awal abad ke-15 M di Semenanjung Malaya yang strategis merupakan kerajaan Islam kedua di Asia Tenggara setelah Samudera Pasai, ditaklukkan Portugis pada tahun 1511 M. Sejak itu peperangan-peperangan antara Portugis melawan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia seringkali berkobar. Pedagang-pedagang Portugis berupaya menguasai Maluku yang sangat kaya akan rempah-rempah.
Pada tahun 1521 M, Spanyol datang ke Maluku dengan tujuan dagang. Spanyol berhasil menguasai Filipina, termasuk di dalamnya beberapa kerajaan Islam, seperti Kesultanan Maguindanao, Buayan dan Kesultanan Sulu. Akhir abad ke-16 M, giliran Belanda, Inggris, Denmark dan Perancis, datang ke Asia Tenggara. Namun, Perancis dan Denmark tidak berhasil menguasai negeri di Asia Tenggara dan hanya datang untuk berdagang. Kekuasaan politik negara-negara Eropa di negara-negara Asia berlanjut terus hingga pertengahan abad ke-20.

3. Bangkitnya Nasionalisme di Dunia Islam
Sebagaimana telah disebutkan di atas, benturan-benturan antara Islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa, mereka memang jauh tertinggal dari Eropa. Hal ini dirasakan dan disadari pertama kali oleh Turki, karena kerajaan inilah yang pertama dan utama dalam usaha menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk banya belajar dari Eropa.
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya didorong oleh dua faktor, yakni pertama: permurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam, seperti gerakan Wahhabiyah yang dipelopori oleh Muhammad bin Abd al-Wahhab di Saudi Arabia, Syah Waliyullah di India dan gerakan Sanusiyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi dari Aljazair. Kedua: Menimba gagasan-gagasan pembaruan dan ilmu pengetahuan dari Barat. Hal ini tercermin dalam pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa Turki dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa mereka. Pelajar-pelajar India juga banyak yang menuntut ilmu ke Inggris.
Gerakan pembaharuan itu, dengan segera juga memasuki dunia politik, karena Islam memang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah gagasan Pan-Islamisme (Persatuan umat Islam Sedunia) yang pada awalnya didengungkan oleh gerakan Wahhabiyah dan Sanusiayah. Namun, gagasan ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokoh pemikir Islam terkenal, Jamaludin al-Afghani.
Al-Afghani-lah orang pertama yang menyadari sepenuhnya akan dominasi Barat dan bahayanya. Oleh karena itu, dia mengabdikan dirinya untuk memperingatkan dunia Islam akan hal tersebut dan melakukan usaha-usaha untuk pertahanan. Umat Islam, menurutnya, harus meninggalkan perselisihan-perselisihan dan berjuang di bawah panji bersama. Ia juga berusaha membangkitkan semangat lokal dan nasional negeri-negeri Islam. Karena itu, al-Afghani dikenal sebagai Bapak Nasionalisme dalam Islam.
Semangat Pan-Islamisme yang bergelora itu mendorong Sultan Hamid II, untuk mengundang al-Afghani ke Istanbul. Gagasan ini dengan cepat mendapat sambutan hangat dari negeri-negeri Islam. Akan tetapi, semangat demokrasi al-Afghani tersebut menjadi duri bagi kekuasaan sultan, sehingga al-Afghani tidak diizinkan berbuat banyak di Istanbul. Setelah itu, gagasan Pan-Islamisme dengan cepat redup, terutama setelah Turki Usmani bersama sekutunya Jerman, kalah dalam Perang Dunia I dan kekhalifahan dihapuskan oleh Mustafa Kemal, tokoh yang justru mendukung nasionalisme, rasa kesetiaan kepada negara kebangsaan.
Gagasan nasionalisme yang berasal dari Barat tersebut masuk ke negeri-negeri Islam melalui persentuhan umat Islam dengan Barat yang menjajah mereka dan dipercepat oleh banyaknya pelajar Islam yang menuntut ilmu ke Eropa atau lembaga-lembaga pendidikan barat yang didirikan di negeri mereka. Gagasan kebangsaan ini pada mulanya banyak mendapat tantangan dari pemuka-pemuka Islam, karena dipandang tidak sejalan dengan semangat uóuwaú al-Islamiyaú. Akan tetapi, gagasan ini berkembang dengan cepat setalah gagasan Pan-Islamisme redup.
Di Mesir, benih-benih nasionalisme tumbuh sejak masa al-Tahtawi dan Jamludin al-Afghani. Tokoh pergerakan terkenal yang memperjuangkan gagasan ini adalah Ahmad Urabi Pasha. Gagasan tersebut menyebar dan mendapat sambutan hangat, sehingga nasionalisme tersebut terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Hal itu terjadi di Mesir, Syiria, libanon, Palestina, Irak, Bahrain, dan Kuwait. Semangat persatuan Arab tersebut diperkuat pula oleh usaha barat untuk mendirikan negara Yahudi di tengah-tengah bangsa Arab.
Di India, sebagaimana di Turki dan Mesir, gagasan Pan-Islamisme yang dikenal dengan gerakan óilafaú juga mendapat pengikut. Syed Amir Ali adalah salah seorang pelopornya. Namun, gerakan ini pudar setelah usaha menghidupkan kembali khilafah yang dihapuskan Mustafa Kemal tidak memungkinkan lagi. Yang populer adalah gerakan nasionalisme, yang diwakili oleh Partai Kongres Nasional India. Akan tetapi, gagasan nasionalisme itu segera pula ditinggalkan sebagian besar tokoh-tokoh Islam, karena kaum muslim yang minoritas tertekan oleh kelompok Hindu yang mayoritas. Persatuan antar kedua komunitas besar Hindu dan Islam sulit diwujudkan. Oleh karena itu, umat Islam di anak benua India tidak lagi semangat menganut nasionalisme, tetapi Islamisme, yang dalam masyarakat India dikenal dengan nama komunalisme. Gagasan Komunalisme Islam disuarakan oleh Liga Muslimin yang merupakan saingan bagi Partai Kongres Nasional. Benih-benih gagasan Islamisme tersebut sebenarnya sudah ada sebelum Liga Muslimin berdiri, yang disuarakan oleh Sayyid Ahmad Khan, kemudian mengkristal pada masa Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.

C. Penutup
Demikianlah uraian singkat materi tentang Dunia Islam pada masa penjajahan Barat. Tulisan ini masih sangat terbatas dan memerlukan tambahan guna memperluas wawasan kita. Hal ini sebagai upaya mengenalkan warisan kebudayaan Islam, sehingga generasi penerus kita mampu mengambil 'ibrah dari peristiwa yang telah terjadi di masa lalu, agar nantinya mereka dapat mencontoh dan mengambil apa yang seharusnya mereka pegangi dan tidak megulangi lagi kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh para tokoh-tokoh Islam terdahulu.***

Read More......