Senin, 18 Mei 2009

ISLAM DI MASA PENJAJAHAN BARAT



(Abad Ke-16 Hingga Abad Ke-19)
Dasep Hanan Mubarok*

________________________________________

Abstract

The European invasion to Islamic world is never same, but always be comprehensive and effective. The West penetration to Islamic world in the Middle East was firstly done by two famous Europe nations, namely England and France. England tried to dominate the Kingdom of Mughal in India. During the late middle of the 18th century, the traders of England placed in a solid footing in Benggali. The rate time of between 1798 – 1818, with the engagement or military action, the colonial government of England had spread all over India except Indus valley that had just surrendered in 1843 – 1849. And the France needed to cut communication relationship between England in the west and India in the east. Therefore, the gate to India namely Egypt succeeded to be subjugated and dominated by Napoleon Bonaparte in 1798 AD. Another cause of why the France subjugated Egypt was to market its industry products. Egypt, beside it was easy to be reached by the France, it also became the activities centre of distributing the goods to Turkey, Syiria until the Far East.

Keywords : the West colonial, European nations, domination, military action.



A.Pendahuluan
Umat Islam mengalami puncak kejayaan kedua pada masa tiga kerajaan Besar berkuasa, yakni kerajaan Turki Usmani, Safawi dan Mughal (India).Namun, seperti pada masa kekuasaan Islam terdahulu, lambat laun kekuatan Islam menurun. Bersamaan dengan kemunduran tiga kerajaan tersebut, bangsa Barat mulai menunjukkan usaha kebangkitannya.
Kebangkitan bangsa Barat bermuara pada khazanah ilmu pengetahuan dan metode berpikir yang dikembangkan umat Islam yakni rasional. Di antara jalur masuknya ilmu pengetahuan Islam ke Eropa yang terpenting adalah Spanyol. Ketika Spanyol Islam mengalami kejayaan, banyak orang-orang Eropa yang datang untuk belajar ke sana, kemudian menerjemahkan karya-karya ilmiah umat Islam. Hal ini dimulai sejak abad ke-12.
Gerakan renaisans bangsa Eropa melahirkan perubahan-perubahan besar. Abad ke-16 dan ke-17 merupakan abad yang paling penting bagi kebangkitan Eropa, sementara pada akhir abad ke-17 itu pula, dunia Islam mulai mengalami kemunduran. Banyak penemuan-penemuan dalam segala lapangan ilmu pengetahuan dan kehidupan yang diperoleh orang-orang Eropa. Perkembangan itu semakin cepat setelah ditemukan mesin uap, yang kemudian melahirkan revolusi industri di Eropa. Teknologi perkapalan dan militer berkembang dengan pesat. Sehingga, dengan kekuatan baru yang mereka miliki, Eropa menjadi penguasa lautan dan bebas melakukan kegiatan ekonomi dan perdagangan dari dan ke seluruh dunia, tanpa mendapat hambatan berarti dari lawan-lawan mereka yang masih menggunakan persenjataan sederhana dan tradisional.
Dalam pada itu, kemorosotan dunia Islam tidak terbatas pada bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, melainkan mereka juga ketinggalan dari Eropa dalam industri perang, padahal keunggulan Turki Usmani di bidang ini pada masa-masa sebelumnya telah diakui oleh seluruh dunia.
Dengan organisasi dan persenjataan modern, pasukan perang Eropa mampu melancarkan pukulan telak terhadap daerah-daerah kekuasaan Islam. Kekuatan-kekuatan Eropa menjajah satu demi satu negara Islam. Perancis menduduki Aljazair pada tahun 1830, dan merebut Aden dari Inggris sembilan tahun kemudian. Tunisia ditaklukkan pada tahun 1881, Mesir pada tahun 1882, Sudan pada 1889.
Sementara itu, wilayah Islam di Asia Tengah juga tak luput dari penjajahan Barat. Umat Islam di Asia Tengah menjadi sasaran pendudukan Uni Soviet. Tulisan ini mencoba memaparkan keadaan dunia Islam pada masa penjajahan Barat.

B. Pembahasan
1. Kemunduran Kerajaan Usmani dan Ekspansi Barat ke Timur Tengah
Kemajuan-kemajuan Eropa dalam teknologi militer dan industri perang membuat kerajaan Usmani menjadi kecil di hadapan Eropa. Akan tetapi nama besar Turki Usmani masih membuat Eropa segan untuk menyerang atau menguasai wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Islam. Namun kekalahan besar Turki Usmani dalam peperangan di Wina pada tahun 1683 M, membuka mata Barat bahwa Turki Usmani telah benar-benar mengalami kemunduran jauh sekali.
Sejak kekalahan dalam peperangan Wina itu, kerajaan Turki Usmani menyadari akan kemundurannya dan kemajuan Barat. Usaha-usaha pembaharuan mulai dilaksanakan dengan mengirim duta-duta ke negara Eropa, terutama Perancis, untuk mempelajari kemajuan mereka dari dekat. Pada tahun 1720 M, Celebi Muhamad diutus ke Paris dan diinstruksikan untuk mengunjungi pabrik-parbik, benteng-benteng pertahanan dan institusi-institusi lainnya. Ia kemudian memberi laporan tentang kemajuan teknik, organisasi angkatan perang modern, dan kemajuan lembaga-lembaga sosial lainnya. Laporan-laporan tersebut mendorong Sultan Ahmad III (1703 – 1730 M) untuk memulai pembaharuan. Untuk tujuan itu, didatangkanlah ahli-ahli militer Eropa, salah satunya adalah De Rochefort, Pada tahun 1717, ia datang ke Istambul dalam rangka membentuk korps artileri dan melatih tentara Usmani dalam ilmu-ilmu kemiliteran modern.
Usaha pembaruan yang dilakukan tidak terbatas pada bidang milliter. Dalam bidang-bidang lain pembaharuan juga dilaksanakan, seperti pembukaan percetakan di Istanbul pada tahun 1737 M, untuk kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan. Demikian juga gerakan penerjemahan buku-buku Eropa ke dalam bahasa Turki, sebagaimana telah dilakukan oleh para penguasa Abbasiyah ketika menerjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab.
Meskipun demikian, usaha-usaha pembaharuan itu bukan saja gagal menahan kemunduran Turki Usmani, tetapi juga tidak membawa hasil yang diharapkan. Penyebab kegagalan tersebut karena kelemahan raja-raja Turki Usmani karena wewenangnya sudah menurun. Di samping itu, keuangan negara yang terus mengalami kebangkrutan, tidak mampu menunjang usaha pembaharuan. Faktor terpenting yang menyebabkan kegagalan usaha pembaharuan adalah karena ulama dan tentara Yenissari yang sejak abad ke-17 M menguasai suasana politik kerajaan Turki Usmani menolak pembaharuan.
Usaha pembaruan Turki Usmani baru mengalami kemajuan setelah Sultan Mahmud II membubarkan tentara Yenissari pada tahun 1826 M. Struktur kerajaan dirombak, lembaga-lembaga pendidikan moderen didirikan, buku-buku Barat diterjemahkan, siswa berbakat dikirim belajar ke Eropa, dan sekolah-sekolah kemiliteran didirikan. Akan tetapi, meski banyak mendatangkan kemajuan, hasil yang diperoleh dari gerakan pembaharuan tetap tidak berhasil menghentikan gerakan Barat terhadap dunia Islam. Selama abad ke-18, Barat menyerang wilayah kekuasaan Turki Usmani di Eropa Timur. Akhir dari serangan itu adalah ditandatanganinya Perjanjian San Stefano (Maret 1878 M) dan perjanjian Berlin (Juli 1878 M), antara kerajaan Turki Usmani dengan Rusia.
Ketika perang dunia I meletus, Turki Usmani bergabung dengan Jerman yang kemudian mengalami kekalahan. Akibat dari peristiwa itu kekuasaan kerajaan Turki semakin ambruk. Partai Persatuan dan Kemajuan memberontak kepada Sultan dan dapat menghapuskan kekhalifahan Usmani, kemudian membentuk Turki modern.
Di pihak lain, satu demi satu daerah-daerah kekuasaan Turki Usmani di Asia dan Afrika melepaskan diri dari Konstantinopel. Hal ini disebabkan timbulnya nasionalisme pada bangsa-bangsa yang ada di bawah kekuasaan Turki. Bangsa Armenia dan Yunani yang beragama Kristen berpaling ke Barat, memohon bantuan Barat untuk kemerdekaan tanah airnya, bangsa Kurdi di pegunugan dan Arab di padang pasir dan lembah-lembah juga bangkit untuk melepaskan diri dari cengkeraman penguasa Turki Usmani.

2. Penjajahan Eropa Terhadap Dunia Islam
Invasi Eropa terhadap dunia Islam tidak pernah sama, tetapi selalu secara menyeluruh dan efektif. Penetrasi Barat terhadap dunia Islam di Timur Tengah pertama-tama dilakukan oleh dua bangsa Eropa terkemuka, Inggris dan Perancis. Inggris terlebih dahulu mencoba menguasai kerajaan Mughal India. Selama pertengahan terakhir abad ke-18, para pedagang Inggris telah memantapkan diri di Benggali. Rentang waktu antara 1798 – 1818, dengan perjanjian atau aksi militer, pemerintahan kolonial Inggris tersebar ke seluruh India, kecuali lembah Indus, yang baru menyerah pada tahun 1843 – 1849.
Sementara itu Perancis merasa perlu memutuskan hubungan komunikasi antara Inggris di barat dan India di timur. Oleh karena itu, pintu gerbang ke India, yakni Mesir berhasil ditaklukkan dan dikuasai oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798 M. Alasan lain Perancis menaklukkan Mesir adalah untuk memasarkan hasil-hasil industrinya. Mesir, di samping mudah dicapai dari Perancis juga dapat menjadi sentral aktivitas untuk mendistribusikan barang-barang ke Turki, Syiria hingga ke timur jauh.
Pada tahun 1799 M., Napoleon Bonaparte meninggalkan Mesir karena situasi politik yang terjadi di negara tersebut. Ia kemudian menunjuk jenderal Kleber menggantikan kedudukan Napoleon di Mesir. Dalam suatu pertempuran laut antara Inggris dan Perancis, jenderal Kleber kalah dan meninggalkan Mesir pada tahun 1801 M., dan di Mesir terjadi kekosongan kekuasaan.
Kekosongan tersebut dimanfaatkan oleh seorang perwira Turki, Muhammad Ali dengan didukung oleh rakyat, berhasil megambil alih kekuasaan dan mendirikan dinasti. Pada masa itu Mesir sempat menegakkan kedaulatan dan melakukan beberapa pembeharuan, namun pada tahun 1882 M. dapat ditaklukkan kembali oleh Inggris.
Faktor utama yang menarik kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ke negara-negara muslim adalah ekonomi dan politik. kemajuan Eropa dalam bidang industri menyebabkannya membutuhkan bahan-bahan baku, di samping rempah-rempah. Mereka juga membutuhkan negeri-negeri tempat memasarkan hasil industri mereka. Untuk menunjang perekonomian tersebut, kekuatan politik diperlukan sekali. Akan tetapi persoalan agama seringkali terlibat dalam proses politik penjajahan barat atas negeri-negeri muslim. Trauma Perang Salib masih membekas pada sebagian orang barat, terutama Portugis dan Spanyol, karena kedua negara ini dalam jangka waktu lama, berabad-abad berada di bawah kekuasaan Islam.
India, pada masa kemajuan kerajaan Mughal adalah negeri yang kaya dengan hasil pertanian. Hal ini mengundang Eropa yang sedang mengalami kemajuan untuk berdagang ke sana. Di awal abad ke-17 M, Inggris dan Belanda mulai menginjakkan kaki di India. pada tahun 1611 M, Inggris mendapat izin menanamkan modal, dan pada tahun 1617 M belanda mendapat izin yang sama.
Kongsi dagang Inggris, British East India Company (BEIC), mulai berusaha menguasai wilayah India bagian timur, ketika merasa cukup kuat. Penguasa setempat mencoba mempertahankan kekuasaan dan berperang melawan Inggris. Namun, mereka tidak berhasil mengalahkan kekuatan Inggris. Pada tahun 1803 M, Delhi, ibukota kerajaan Mughal jatuh ke tangan Inggris dan berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Inggris. Tahun 1857 M, kerajaan Mughal dikuasai secara penuh, dan raja yang terakhir dipaksa meninggalkan istana. Sejak itu India berada di bawah kekuasaan Inggris yang menegakkan pemerintahannya di sana. Pada tahun 1879, Inggris berusaha menguasai Afghanistan dan pada tahun 1899, Kesultanan Muslim Baluchistan dimasukkan ke bawah kekuasaan India-Inggris.
Asia Tenggara, negeri tempat Islam baru berkembang, yang merupakan daerah penghasil rempah-rempah terkenal pada masa itu, menjadi ajang perebutan negara-negara Eropa. Kerajaan-kerajaan Islam di wilayah ini lebih lemah dibandingkan dengan kerajaan Mughal, sehingga lebih mudah ditaklukkan oleh bangsa Eropa.
Kerajaan Islam Malaka yang berdiri pada awal abad ke-15 M di Semenanjung Malaya yang strategis merupakan kerajaan Islam kedua di Asia Tenggara setelah Samudera Pasai, ditaklukkan Portugis pada tahun 1511 M. Sejak itu peperangan-peperangan antara Portugis melawan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia seringkali berkobar. Pedagang-pedagang Portugis berupaya menguasai Maluku yang sangat kaya akan rempah-rempah.
Pada tahun 1521 M, Spanyol datang ke Maluku dengan tujuan dagang. Spanyol berhasil menguasai Filipina, termasuk di dalamnya beberapa kerajaan Islam, seperti Kesultanan Maguindanao, Buayan dan Kesultanan Sulu. Akhir abad ke-16 M, giliran Belanda, Inggris, Denmark dan Perancis, datang ke Asia Tenggara. Namun, Perancis dan Denmark tidak berhasil menguasai negeri di Asia Tenggara dan hanya datang untuk berdagang. Kekuasaan politik negara-negara Eropa di negara-negara Asia berlanjut terus hingga pertengahan abad ke-20.

3. Bangkitnya Nasionalisme di Dunia Islam
Sebagaimana telah disebutkan di atas, benturan-benturan antara Islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa, mereka memang jauh tertinggal dari Eropa. Hal ini dirasakan dan disadari pertama kali oleh Turki, karena kerajaan inilah yang pertama dan utama dalam usaha menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk banya belajar dari Eropa.
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya didorong oleh dua faktor, yakni pertama: permurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam, seperti gerakan Wahhabiyah yang dipelopori oleh Muhammad bin Abd al-Wahhab di Saudi Arabia, Syah Waliyullah di India dan gerakan Sanusiyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi dari Aljazair. Kedua: Menimba gagasan-gagasan pembaruan dan ilmu pengetahuan dari Barat. Hal ini tercermin dalam pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa Turki dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa mereka. Pelajar-pelajar India juga banyak yang menuntut ilmu ke Inggris.
Gerakan pembaharuan itu, dengan segera juga memasuki dunia politik, karena Islam memang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah gagasan Pan-Islamisme (Persatuan umat Islam Sedunia) yang pada awalnya didengungkan oleh gerakan Wahhabiyah dan Sanusiayah. Namun, gagasan ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokoh pemikir Islam terkenal, Jamaludin al-Afghani.
Al-Afghani-lah orang pertama yang menyadari sepenuhnya akan dominasi Barat dan bahayanya. Oleh karena itu, dia mengabdikan dirinya untuk memperingatkan dunia Islam akan hal tersebut dan melakukan usaha-usaha untuk pertahanan. Umat Islam, menurutnya, harus meninggalkan perselisihan-perselisihan dan berjuang di bawah panji bersama. Ia juga berusaha membangkitkan semangat lokal dan nasional negeri-negeri Islam. Karena itu, al-Afghani dikenal sebagai Bapak Nasionalisme dalam Islam.
Semangat Pan-Islamisme yang bergelora itu mendorong Sultan Hamid II, untuk mengundang al-Afghani ke Istanbul. Gagasan ini dengan cepat mendapat sambutan hangat dari negeri-negeri Islam. Akan tetapi, semangat demokrasi al-Afghani tersebut menjadi duri bagi kekuasaan sultan, sehingga al-Afghani tidak diizinkan berbuat banyak di Istanbul. Setelah itu, gagasan Pan-Islamisme dengan cepat redup, terutama setelah Turki Usmani bersama sekutunya Jerman, kalah dalam Perang Dunia I dan kekhalifahan dihapuskan oleh Mustafa Kemal, tokoh yang justru mendukung nasionalisme, rasa kesetiaan kepada negara kebangsaan.
Gagasan nasionalisme yang berasal dari Barat tersebut masuk ke negeri-negeri Islam melalui persentuhan umat Islam dengan Barat yang menjajah mereka dan dipercepat oleh banyaknya pelajar Islam yang menuntut ilmu ke Eropa atau lembaga-lembaga pendidikan barat yang didirikan di negeri mereka. Gagasan kebangsaan ini pada mulanya banyak mendapat tantangan dari pemuka-pemuka Islam, karena dipandang tidak sejalan dengan semangat uóuwaú al-Islamiyaú. Akan tetapi, gagasan ini berkembang dengan cepat setalah gagasan Pan-Islamisme redup.
Di Mesir, benih-benih nasionalisme tumbuh sejak masa al-Tahtawi dan Jamludin al-Afghani. Tokoh pergerakan terkenal yang memperjuangkan gagasan ini adalah Ahmad Urabi Pasha. Gagasan tersebut menyebar dan mendapat sambutan hangat, sehingga nasionalisme tersebut terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Hal itu terjadi di Mesir, Syiria, libanon, Palestina, Irak, Bahrain, dan Kuwait. Semangat persatuan Arab tersebut diperkuat pula oleh usaha barat untuk mendirikan negara Yahudi di tengah-tengah bangsa Arab.
Di India, sebagaimana di Turki dan Mesir, gagasan Pan-Islamisme yang dikenal dengan gerakan óilafaú juga mendapat pengikut. Syed Amir Ali adalah salah seorang pelopornya. Namun, gerakan ini pudar setelah usaha menghidupkan kembali khilafah yang dihapuskan Mustafa Kemal tidak memungkinkan lagi. Yang populer adalah gerakan nasionalisme, yang diwakili oleh Partai Kongres Nasional India. Akan tetapi, gagasan nasionalisme itu segera pula ditinggalkan sebagian besar tokoh-tokoh Islam, karena kaum muslim yang minoritas tertekan oleh kelompok Hindu yang mayoritas. Persatuan antar kedua komunitas besar Hindu dan Islam sulit diwujudkan. Oleh karena itu, umat Islam di anak benua India tidak lagi semangat menganut nasionalisme, tetapi Islamisme, yang dalam masyarakat India dikenal dengan nama komunalisme. Gagasan Komunalisme Islam disuarakan oleh Liga Muslimin yang merupakan saingan bagi Partai Kongres Nasional. Benih-benih gagasan Islamisme tersebut sebenarnya sudah ada sebelum Liga Muslimin berdiri, yang disuarakan oleh Sayyid Ahmad Khan, kemudian mengkristal pada masa Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.

C. Penutup
Demikianlah uraian singkat materi tentang Dunia Islam pada masa penjajahan Barat. Tulisan ini masih sangat terbatas dan memerlukan tambahan guna memperluas wawasan kita. Hal ini sebagai upaya mengenalkan warisan kebudayaan Islam, sehingga generasi penerus kita mampu mengambil 'ibrah dari peristiwa yang telah terjadi di masa lalu, agar nantinya mereka dapat mencontoh dan mengambil apa yang seharusnya mereka pegangi dan tidak megulangi lagi kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh para tokoh-tokoh Islam terdahulu.***

0 komentar: